Revisi Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara dinilai memberikan karpet merah bagi pengusaha tambang terutama batu-bara. Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Revisi Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara dinilai memberikan karpet merah bagi pengusaha tambang terutama batu-bara. Foto: Antara/Puspa Perwitasari

Revisi UU Minerba Beri Karpet Merah bagi Konglomerat Tambang

Suci Sedya Utami • 16 April 2020 11:51
Jakarta: Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menyebut revisi Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara sama halnya memberikan karpet merah bagi pengusaha tambang terutama batu-bara.
 
Faisal mengatakan dengan revisi UU Minerba ini, maka sama halnya membentangkan karpet merah kedua, setelah yang pertama melalui UU Cipta Kerja atau yang dikenal dengan sebutan omnibus law. Di UU omnibus law pun mengatur ketentuan terkait pertambangan minerba.
 
"Karpet merah dua kali dibentangkan, pertama di omnibus law, lalu karpet merah digelar lagi dengan diangkatnya revisi UU Minerba," kata Faisal dalam virtual diskusi, Rabu, 15 April 2020.

Menurut dia, UU tersebut memang perlu direvisi karena beberapa aturan turunannya pun sudah banyak mengalami perubahan. Hanya saja, terdapat beberapa beleid dalam draf rancangan revisi UU tersebut yang perlu dicermati dan dibahas secara lebih dalam.
 
Faisal menilai bila tidak dicermati dan dibahas terburu-buru, maka akan menguntungkan pengusaha batu bara kakap yang mencoba menghindari rezim kepemimpinan selanjutnya. Seperti yang sudah-sudah, dia bilang, di negeri ini ketika rezim berganti maka akan diikuti oleh pergantian kebijakan dan aturan yang kerap kali bertentangan.
 
Dirinya menjelaskan setidaknya ada enam perjanjian karya pertambangan batu bara (PKP2B) yang masa kontraknya akan habis, di antaranya PT Arutmin Indonesia pada November 2020, PT Kaltim Prima Coal pada September 202, PT Multi Harapan Utama pada April 2022, PT Adaro Indonesia pada Oktober 2022, PT Kideco Jaya Agung pada Maret 2023, serta PT Berau Coal pada April 2025.
 
Keenam perusahaan tersebut menguasai hampir 70 persen produksi batu bara nasional dan menurut Faisal pandai melobi pemangku kebijakan.
 
Adapun draf pasal yang harus dicermati di antaranya pasal 169 A tentang  kontrak karya (KK) dan PKP2B diberikan perpanjangan kontrak menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) .
 
Selanjutnya, operasi produksi untuk kelanjutan operasi setelah memenuhi persyaratan dengan ketentuan kontrak atau perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan, dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK operasi produksi untuk jangka waktu masing-masing paling lama 10 tahun, dengan mempertimbangkan peningkatan penerimaan negara.
 
Kemudian pasal 169B untuk memperoleh IUPK operasi produksi, pemegang KK dan PKP2B mengajukan permohonan pada menteri terkait paling cepat dalam jangka waktu lima tahun dan paling lambat setahun sebelum kontrak mereka berakhir.
 
"Ini untuk mengantisipasi pergantian rezim. Mereka investasi pada rezim sekarang, maka ingin diperpanjang di periode sekarang ini dengan proses pengamanan, itu yang terjadi," tutur Faisal.
 
Selanjutnya pasal 83 terkait IUPK oprasi batu bara yang terintegrasi dengan kegiatan pengembangan atau pemanfaatan batu bara, diberikan jangka waktu selama 30 tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan selama 10 tahun setiap kali perpanjangan setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
 
Menurut Faisal ini menguntungkan para konglomerat batu bara lantaran mayoritas PKP2B memiliki orientasi ekspor. Sementara kebutuhan di dalam negeri di-nomor-dua-kan. Sehingga bukan optimalisasi penerimaan negara, karena yang diuntungkan adalah pengusaha.
 
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Riset Indef Berly Martawardaya mengatakan pasal yang juga harus diperhatikan yakni pasal 128 A terkait dengan insentif untuk perusahaan yang melakukan pemurnian. Ia bilang, pemerintah harus memastikan insentif yang diberikan tidak double atau triple dengan insentif lainnya.
 
"Kita dorong perusahaan membuat pemurnian tapi jangan berlebihan give away, perlu detailkan berapa insentif terkait dengan kapasitas smelter," ujar Berly.
 
Kemudian Peneliti Center of Food, Energy and Sustainable Development Indef Imaduddin Abdullah menambahkan tentang kepastian terkait kesejahteraan di wilayah tambang. Sebab, realitanya kesejahteraan masyarakat sekitar wilayah pertambangan kerap kali berseberangan dan terdapat jurang kemiskinan. Oleh karenanya tanggung jawab sosial pemegang IUP baru nantinya harus dipastikan berjalan.
 
Selain itu perlu juga ditekankan mengenai pengelolaan lingkungan dan tambang berkelanjutan. Sebab, kerap kali jika kontrak habis, kegiatan pascatambang tidak dilakukan sehingga yang terjadi adalah kerusakan lingkungan. 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEV)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan