Pungutan itu tercantum pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
"Sejak munculnya UU No. 4 Tahun 2016 tentang ‘Tabungan Perumahan Rakyat’ Apindo dengan tegas telah menolak diberlakukannya UU tersebut," kata Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani, dilansir Antara, Selasa, 28 Mei 2024.
Shinta mengatakan, Apindo telah melakukan sejumlah diskusi, koordinasi, dan mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo mengenai Tapera.
Iuran Tapera memberatkan pengusaha dan buruh
Sejalan dengan Apindo, Serikat Buruh/Pekerja juga menolak pemberlakuan program Tapera. Program Tapera dinilai memberatkan beban iuran baik dari sisi pelaku usaha dan pekerja/buruh.Shinta menjelaskan Apindo pada dasarnya mendukung kesejahteraan pekerja dengan adanya ketersediaan perumahan bagi pekerja.
Namun, ia menilai PP yang baru disahkan pada 20 Mei 2024 itu menduplikasi atas program sebelumnya, yaitu Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) BP Jamsostek.
Baca juga: Iuran Wajib Tapera Bakal Gerus Daya Beli dan Pengaruhi Tren Tabungan Masyarakat |
"Tambahan beban bagi pekerja 2,5 persen dan pemberi kerja 0,5 persen dari gaji yang tidak diperlukan karena bisa memanfaatkan sumber pendanaan dari dana BPJS Ketenagakerjaan," jelas dia.
Menurut pandangan Apindo, justru seharusnya pemerintah diharapkan dapat lebih mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan, sesuai PP maksimal 30 persen atau Rp138 triliun, maka maka aset JHT sebesar 460 Triliun dapat digunakan untuk program MLT perumahan Pekerja.
Aturan Tapera tambah beban baru
Apindo menilai aturan Tapera terbaru semakin menambah beban baru, baik untuk pemberi kerja maupun pekerja.Saat ini beban pungutan yang telah ditanggung pemberi kerja sebesar 18,24-19,74 persen dari penghasilan pekerja dengan rincian, yakni Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, yakni Jaminan Hari Tua 3,7 persen, Jaminan Kematian 0,3 persen, Jaminan Kecelakaan Kerja 0,24-1,74 persen, dan Jaminan Pensiun dua persen.
Kemudian, pemberi kerja juga membayar Jaminan Sosial Kesehatan yakni Jaminan Kesehatan 4 persen. Selanjutnya, terdapat Cadangan Pesangon sesuai dengan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) sekitar delapan persen.
"Beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar," ujar Shinta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News