baca juga:
Laba Bersih GAR Tertekan Penurunan Harga Minyak Sawit |
Studi tersebut dikutip Kamis, 6 Juni 2024, mengungkapkan semakin transparan perusahaan-perusahaan ini tentang inisiatif ESG mereka, semakin rendah nilai mereka di mata investor.
Temuan ini berbeda dengan sektor-sektor lain yang dinilai lebih tinggi oleh investor dan stakeholder jika sektor tersebut memiliki laporan keberlanjutan yang mendetail. Studi ini juga menyoroti bagaimana investor di sektor kelapa sawit secara tidak langsung mendukung praktik yang tidak berkelanjutan dan berkontribusi terhadap degradasi lingkungan.
Meskipun sudah ada upaya dari perusahaan untuk beralih ke produksi kelapa sawit yang berkelanjutan dan patuh pada regulasi, perusahaan-perusahaan ini menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan tuntutan pemegang saham sehingga memprioritaskan rasio harga terhadap pendapatan atau price-to-earning ratio (P/E) di atas ESG.
Data untuk studi ini didapat dari laporan keuangan 36 perusahaan kelapa sawit yang terdaftar di bursa saham di berbagai negara termasuk Indonesia, Malaysia, Jepang, dan Inggris, dan dianalisis menggunakan Sustainability Policy Transparency Toolkit (SPOTT).
Selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), toolkit ini mencakup 182 indikator dalam sepuluh kategori. Skor diberikan berdasarkan transparansi pengungkapan ESG perusahaan. Secara khusus, 31 dari 36 perusahaan tersebut memiliki operasi di Indonesia dan Malaysia, pasar utama untuk produksi kelapa sawit. Rekomendasi untuk Pemerintah, Investor, dan Perusahaan di Sektor Kelapa Sawit
Secara global, minyak kelapa sawit merupakan industri dengan nilai yang mencapai USD70,4 miliar, menjadikannya minyak nabati yang paling banyak diproduksi, dikonsumsi, dan diperdagangkan. Indonesia dan Malaysia menjadi pemimpin dalam hal produksi; Indonesia menghasilkan 59 persen (44,7 juta ton) dan Malaysia 24 persen (18,1 juta ton) dari total produksi minyak kelapa sawit di dunia.
Di Indonesia, sektor kelapa sawit menyediakan pekerjaan langsung dan tidak langsung bagi sekitar 17 juta orang (sumber: International Labour Organisation) dan memanfaatkan lebih dari 14 juta hektar perkebunan.
Pasar minyak kelapa sawit Indonesia bernilai USD10,5 miliar pada 2023 dan diperkirakan akan mencapai USD13,2 miliar pada 2032, tumbuh pada tingkat 2,6 persen (CAGR) selama 2024 hingga 2032.
Peraturan terbaru di Indonesia mewajibkan perusahaan publik dan lembaga keuangan untuk menyerahkan laporan keberlanjutan. Pada 2022. 88 persen perusahaan publik telah mematuhi aturan ini.
Tata kelola berkelanjutan
Sebuah studi 2023 oleh NUS Business School mengungkapkan persentase perusahaan Indonesia yang mengungkapkan struktur tata kelola keberlanjutan meningkat dari 52 persen pada tahun 2021 menjadi 84 persen pada tahun 2022. Sayangnya, tren ini kurang terlihat di sektor kelapa sawit.Direktur Centre for Governance and Sustainability di NUS Business School Lawrence Loh mengatakan investor perlu memperhatikan dampak tanggung jawab ESG, tidak hanya pada kinerja dan nilai keuangan perusahaan, tetapi juga pada kinerja non-keuangan.
Tujuan utama dari tanggung jawab ESG adalah untuk memasukkan norma-norma yang dapat diterima secara sosial ke dalam aktivitas bisnis untuk mencapai tujuan keberlanjutan demi kebaikan masyarakat. Perlu lebih banyak upaya untuk menunjukkan bahwa keberlanjutan dan profitabilitas tidak saling bertentangan. Ini memerlukan upaya kolaboratif dari pemerintah, perusahaan kelapa sawit, dan terutama para investor yang berperan penting dalam mendorong perubahan menuju praktik yang lebih berkelanjutan."
Pemerintah dari negara-negara produsen dan pengimpor dapat memperkuat legislasi dan kebijakan untuk memberikan insentif bagi perusahaan untuk berinovasi dan menerapkan praktik-praktik berkelanjutan. Berinvestasi dalam teknologi yang membantu perusahaan meningkatkan pelaporan ESG, terutama bagi perusahaan skala kecil dengan keterbatasan sumber daya, dapat mendorong persepsi positif investor terhadap inisiatif keberlanjutan di sektor ini.
"Para investor mungkin belum sepenuhnya memahami keuntungan jangka panjang dari tata kelola keberlanjutan. Oleh karena itu, untuk mendorong adopsi 'ESG' sebagai tolak ukur, perusahaan dapat lebih berupaya untuk berkomunikasi dan mendidik para pemangku kepentingan tentang upaya ESG mereka dan mengatasi kekhawatiran para stakeholder yang timbul. Dengan melakukan hal ini, mereka dapat menunjukkan komitmen terhadap keberlanjutan, meningkatkan reputasi sektor kelapa sawit, dan mengembalikan kepercayaan investor," tambah Loh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News