Direktur Teknik Operasi Indonesia Re, Delil Khairat. Foto: dok Indonesia Re.
Direktur Teknik Operasi Indonesia Re, Delil Khairat. Foto: dok Indonesia Re.

3 Faktor Utama Tantangan Reasuransi Global

Ade Hapsari Lestarini • 16 Oktober 2022 06:06
Jakarta: Tekanan klaim lini bisnis asuransi kredit yang meningkat berlipat-lipat telah membuka tabir banyak blunder mendasar dan sistematis dalam pengelolaan eksposur kredit perbankan oleh industri asuransi umum.
 
Lemahnya pengetahuan industri asuransi akan karakteristik asuransi kredit pun terefleksi dari pricing yang tidak memadai, pencadangan yang tidak tepat dan terms and conditions yang sangat longgar dan agresif.
 
Berangkat dari permasalahan tersebut, Indonesia Rendezvous, ajang pertemuan tahunan industri asuransi umum dengan mitra reasuransi dalam dan luar negeri jelang pembaruan kontrak reasuransi treaty (treaty renewal), kembali digelar di Nusa Dua Bali pada 12-15 Oktober 2022.

Indonesia Rendezvous 2022 edisi ke-26 tidak hanya karena digelar selepas dua tahun jeda akibat pandemi, namun juga sebab industri asuransi umum saat ini sedang berada dibawah lampu sorot untuk alasan yang salah.
 
"Tingginya biaya akuisisi serta semakin agresifnya perbankan dengan mengeluarkan produk pembiayaan berisiko tinggi serta belum efektifnya regulasi turut memperburuk performa bisnis ini. Persoalan asuransi kredit ini telah menjadi perhatian banyak pemangku kepentingan termasuk pemerintah dan regulator OJK (Otoritas Jasa Keuangan)," ujar Direktur Teknik Operasi Indonesia Re, Delil Khairat, dalam keterangan resminya, Minggu, 16 Oktober 2022.
 
Menurut dia, terlepas dari gonjang-ganjing asuransi kredit, industri asuransi umum dalam negeri sedang tidak baik-baik saja. Telah 17 kuartal lamanya, berarti lebih dari empat tahun, pasar reasuransi global berada dalam kondisi hard market, yaitu harga proteksi reasuransi yang mahal dan terus menanjak, kapasitas yang menyusut serta terms and conditions yang semakin ketat.
 
"Para pemain reasuransi global telah menikmati hasil hard market ini yang terefleksi pada laporan keuangan mereka. Namun ada anomali di Indonesia, yang justru di dalam empat tahun terakhir portofolio reasuransi treaty dalam negeri selalu memberikan hasil negatif (kerugian) bagi pihak reasuransi," jelasnya.
 
Dia menyebut, setidaknya ada tiga faktor utama penyebab situasi ini.

Struktur reasuransi treaty yang tidak berimbang dan tidak sustainable

Struktur reasuransi treaty mengacu pada rancang bangun dari kombinasi teknik-teknik reasuransi treaty seperti quota share, surplus dan excess of loss, yang membentuk program reasuransi treaty sebuah perusahaan asuransi. Ketidakberimbangan dan unsustainability treaty antara lain ditunjukkan oleh ratio premi dan kapasitas, dengan premi reasuransi terlalu kecil untuk kapasitas yang terlalu besar yang disuplai oleh perusahaan reasuransi.
 
"Demikian pula rasio kapasitas reasuransi terhadap retensi, dengan kapasitas reasuransi terlalu besar dibandingkan retensi perusahaan asuransi. Struktur yang tidak berimbang ini membuat program reasuransi tidak efektif dalam menyerap volatilitas. Satu dua klaim besar cukup membuat program treaty menjadi defisit dan diperlukan waktu berpuluh tahun untuk kembali ke posisi break-event, apabila tidak dilakukan restrukturisasi," paparnya.

Pricing

Dalam metode reasuransi treaty proporsional, tingkat pricing kapasitas reasuransi direfleksikan oleh seberapa besar komisi reasuransi yang diberikan oleh perusahan reasuransi kepada perusahan asuransi. Tingkat komisi reasuransi treaty Indonesia yang mencapai 35 persen, bahkan lebih memang relatif terlalu tinggi dalam kondisi hard market saat ini.
 
Hal ini menjadi salah satu penyebab perusahaan-perusahaan reasuransi besar luar negeri enggan memberi proteksi reasuransi treaty proporsional bagi perusahaan asuransi dalam negeri. Sementara itu untuk reasuransi treaty metode nonproporsional, pricing ditunjukkan oleh seberapa besar premi yang dikenakan terhadap volume bisnis yang diproteksi atau terhadap besaran kapasitas yang disuplai. Lagi-lagi, tingkat harga reasuransi nonproporsional Indonesia relatif terlalu murah untuk situasi hard market.

Konsentrasi risiko berlebihan di dalam portofolio yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan reasuransi dalam negeri

Konsentrasi atau akumulasi yang terlalu tinggi adalah salah satu momok yang menakutkan bagi perusahaan asuransi atu reasuransi yang mengelola portofolio risiko. Itulah sebabnya penyebaran risiko yang luas dan diversifikasi merupakan dua senjata ampuh yang digunakan asuradur dan reasuradur dalam mengurangi konsentrasi risiko.
 
Namun, bagi reasuradur, memonitor konsentrasi tidak selalu dapat dilakukan maksimal, antara lain karena fitur non-reporting yang berlaku dalam reasuransi treaty, dengan reasuradur tidak memiliki akses untuk melihat detail risiko-risiko yang diproteksi oleh treaty. Dalam konteks asuransi umum Indonesia saat ini, konsentrasi berlebihan di dalam portofolio reasuransi terjadi karena dua hal utama, yaitu penerapan metode ko-asuransi dan facultative inward yang melibatkan terlalu banyak perusahaan asuransi domestik serta penempatan fakultatif ke luar negeri dengan metode excess of loss.
 
Ko-asuransi adalah mekanisme penutupan satu objek pertanggungan oleh dua atau lebih perusahaan asuransi. Sedangkan facultative inward mengacu pada praktek yang perusahaan asuransi bertindak sebagai reasuradur dan menerima transfer risiko dari perusahaan asuransi lain di pasar asuransi yang sama dengan metode fakultatif.
 
"Kedua teknik penyebaran risiko ini telah disalahgunakan untuk menyembunyikan risiko-risiko yang berperforma tidak terlalu baik dan atau dengan terms and conditions polis yang agresif dan tidak memadai ke dalam treaty-treaty banyak perusahaan asuransi. Risiko yang tidak terlalu baik kualitasnya dibagi-bagi kepada banyak perusahaan asuransi melalui ko-asuransi (dan atau facultative inward) kepada banyak sekali perusahaan asuransi (hingga 15, 20, 25 bahkan lebih dalam satu polis) dengan saham yang kecil-kecil sehingga dapat disembunyikan ke dalam treaty masing-masing," ujarnya.
 
Dengan demikian, risiko ini tidak pernah muncul di pasar reasuransi fakultatif, sehingga reasuradur tidak berkesempatan untuk mempengaruhi terms and conditions menjadi lebih baik. Pemicu konsentrasi dalam negeri berlebihan yang kedua adalah praktek penempatan fakultatif ke luar negeri dengan metode excess of loss. Karena pasar di Indonesia tetap soft disaat pasar global sedang hard market, maka risiko-risiko besar dari Indonesia tidak lagi dapat diterima di luar negeri dengan metode fakultatif proporsional yang dapat memastikan penyebaran risiko yang sempurna.
 
Satu-satunya satu jalan agar risiko Indonesia dapat diproteksi adalah melalui excess layer, artinya perusahaan reasuransi luar negeri memproteksi risiko apabila kerugian telah melewati ambang batas tertentu yang disebut excess atau deductible. Artinya, sepanjang kerugian itu masih berada di bawah excess, sepenuhnya ditahan oleh perusahaan asuransi dan reasuransi didalam negeri. Bagian ini disebut juga primary layer yang mengalami fenomena capacity compression yaitu meningkatnya konsentrasi risiko secara eksponensial akibat adanya layer diatasnya.
 
Dia mengatakan, konsentrasi berlebihan ini menjadi maksimal apabila dua modus operandi ini diterapkan bersamaan pada satu risiko yang sama. Sebenarnya treaty-treaty mengecualikan risiko-risiko yang dikover dengan metode excess of loss seperti ini, namun ditengarai mereka tetap mengalir ke treaty karena pada banyak kasus para asuradur panel ko-asuransi tidak mengetahui bahwa ada layar di atas loss limit yang mereka cover.
 
Perusahaan asuransi dan reasuransi yang telah menuntaskan renewal treaty reasuransi maupun retrosesi di paruh kedua tahun ini telah merasakan dampak hard market pasar reasuransi global terutama dalam hal kenaikan harga kapasitas. Terjadinya banyak klaim-klaim besar yang tergolong market losses menambah intensitas hard market untuk program treaty Indonesia.
 
Perusahaan reasuransi domestik yang berada di tengah-tengah value chain, di antara perusahaan asuransi lokal dan reasuransi luar negeri, tidak punya pilihan kecuali meneruskan kondisi hard market ini kepada perusahaan asuransi berupa kenaikan premi excess of loss, penurunan komisi reasuransi dan pengetatan terms and conditions, terutama dalam mengurangi konsentrasi berlebihan serta meningkatkan transparansi bisnis reasuransi. Kenaikan harga dan pengetatan terms and conditions ini tentu tidak mengenakkan bagi industri asuransi dalam negeri.
 
"Namun sesungguhnya ia adalah mekanisme supply demand yang sedang bekerja melakukan koreksi atas kondisi pasar asuransi Indonesia yang tidak sustainable. Bila soft market terus berlanjut di dalam negeri, sementara pasar luar terus hardening, perusahaan-perusahaan reasuransi lokal akan mencapai batas kesanggupannya dan akhirnya akan tumbang. Tumbangnya perusahaan-perusahaan reasuransi adalah petaka bagi perusahaan-perusahan asuransi dalam negeri. Maka, hard market pasar asuransi domestik semestinya dapat dimaknai sebagai pil pahit yang harus ditelan bersama untuk menyehatkan dan merestorasi industri asuransi nasional," pungkasnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan