"Dibutuhkan strategi menjaga iklim investasi oleh pemerintah, memelihara stabilitas ekonomi dan politik, mengembangkan sistem logistik, penyederhanaan regulasi," kata Arief, dalam FGD Aspeti, dikutip Selasa, 12 September 2023.
Sementara itu Singgih Widagdo dari Indonesia Mining and Energy Forum/IMEF mengatakan kondisi minerba saat ini tidak mudah, kebijakan yang mempercepat ini bisa menjadi hal yang menjebak.
"RKAB ini kalau sudah ditandatangani berarti itu dikatakan legal. Bagaimana prosesnya itu nanti, selama ini resmi ya tetap dipakai. Kalau RKAB tidak benar, maka kontrol dari lingkungan dan resources menjadi tidak ada," ujar dia.
Djoko Widajatno dari Indonesia Mining Association memandang bahwa tidak sepenuhnya kisruh RKAB menjadi tanggung jawab Ditjen Minerba. Justru Djoko, melihat pengusaha tambang juga berperan dalam menyumbang kesalahan dalam penyusunan RKAB.
"Kesalahan yang utama tidak di Minerba, tetapi kesalahan itu ada di pengusaha. Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 2000 menyebutkan setiap tambang harus membuat rencana kerja wilayah tambang, kemudian diturunkan dalam rencana jangka pendek," ucap dia.
Dalam pandangan Djoko, lamanya pengurusan RKAB karena saat ini semua ditarik ke pusat. Sebelumnya kewenangan itu boleh dikeluarkan daerah. Menurut Djoko, kerugian pendapatan negara ini tidak hanya dari RKAB. E-RKAB ini di-hack juga.
"Prosesnya lama dan dulu daerah boleh melakukan dan itu ingin di tertibkan sejak 2020," kata Djoko.
Efek domino ke industri pertambangan
Di sisi lain, perihal dokumen terbang dalam perkara dugaan korupsi pertambangan nikel di Blok Mandiodo, Konawe Utara yang merugikan negara Rp5,7 triliun kian menjadi sorotan luas. Pasalnya, kasus itu memunculkan efek domino terhadap industri pertambangan mineral dan batu bara yang berpotensi menimbulkan kerugian negara. Di lain pihak, penerbitan RKAB oleh Kementerian ESDM dalam kasus itu juga jadi sorotan.
Diketahui Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara telah menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus itu baik dari pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT Lawu Agung Mining (LAM), dan PT Kabaena Kromit Pratama (KKP). Penetapan tersangka ini berkaitan dengan Kerja Sama Operasi (KSO) di wilayah Antam dengan PT Lawu dan perusahaan daerah seluas 22 hektare di Konawe Utara.
Menurut Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Yosef C.A. Swamidharma kasus ini terjadi akibat belum adanya aturan turunan yang tuntas secara administratif, misalnya mekanisme lelang dan wilayah pertambangan sudah memiliki inventori, serta mekanisme penugasan (untuk area-area yang belum memiliki data-data eksplorasi).
"Yang utama adalah niat baik, mekanisme diutamakan orang yang kompeten, dibuat transparan dengan cara direview oleh pihak lain, supaya lebih terbuka. Kalau ada kekurangan-kekurangan yang masih ada di-list-kan. Hal ini proses maksimum yang harus dilakukan. Namun, kalau ada salah satu pihak yang memang dari awal sudah memiliki modus atau niat tidak baik dalam sistem, sebagus apapun system yang dibuat pasti gampang hancur. Yang paling penting adalah niat baik," kata Yosef.
Sementara itu, pelaku usaha pertambangan Taruna Aji memandang, kasus dokumen terbang ini sudah ada dari 6-7 tahun lalu. Namun ini terjadi pada kerja sama business to business antara perusahaan pertambangan. Permasalahannya kasus ini melibatkan perusahaan milik negara (BUMN). Dia memandang permasalahan ini menjadi Pekerjaan Rumah bersama yang harus diperbaiki, karena sebenarnya sederhana.
"Artinya semua pihak jangan ada arogansi, di instansi yang lain, memiliki kebersamaan untuk bangsa, itu aja kuncinya. Kalau masih ada rasa modus-modus apapun sistem, tidak akan berjalan, pasti itu. Karena carut marutnya ini sesungguhnya masalah nonteknis," imbuh dia.
Grand design mining
Pelaku usaha pertambangan lainnya, Jeffisa Putra Amrullah mengatakan dibutuhkan pengawasan dari negara dan perlu adanya grand design mining. Kultur masyarakat juga perlu diperhatikan, karena kemiskinan itu juga besar.
"Negara harus hadir di masyarakat bawah. Terkait kasus dokumen terbang, PT KKP harus bertanggung jawab atas dokumen tersebut. Yang paling bertanggung jawab bukan ESDM tapi PT KKP," tegas dia.
Praktisi Hukum Pertambangan, Arie Nobelta Kaban menjelaskan, perkara dokumen terbang ini harus dilihat dari masalah RAKB yang tidak prosedural, yang digunakan UU Tipikor atau UU Minerba.
Dilihat dari kasus ini, tersangka dalam Kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT Aneka Tambang Tbk ini diduga melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 jo 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1), 56b KUHPidana. "Jika dilihat dari kasus tersebut, tidak ada pasal gratifikasi," tegas Arie.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, pada 14 Desember 2021 bertempat di Kantor Dirjen Minerba Kementerian ESDM telah memimpin rapat terbatas membahas dan memutuskan penyederhanaan aspek evaluasi RKAB perusahaan pertambangan yang telah diatur dengan Keputusan Menteri ESDM nomor 1806 K/30/MEM/2018 tanggal 30 April 2018, sebagai Upaya untuk memperingkas bisnis proses ini tanpa menghilangkan substansinya. Hal itu yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum oleh Kejaksaan.
"Satu siklus bisnis proses mulai dari evaluator yang paling kroco, kemudian koordinator, Kasubdit, Direktur atau Dirjen yang memproses RKAB tersebut menjadi tersangka. Dirjen ini disangkakan membuat semacam kebijakan yang berbeda, menurut dugaan Kejaksaan," jelas Arie.
"Namun eranya sudah berubah, dahulu desentralisasi kemudian sentralisasi proses RKAB. Dengan pendekatan bisnis Kepmen nomor 1806 K/30/MEM/2018, itu akan memakan waktu yang lama. Kerugian keuangan Negara, menurut pandangan saya, saya tidak terlalu yakin perhitungan angka kerugian Negara 5,7 T itu benar. Itu harus ada audit investigasi BPKP atau BPK terlebih dahulu," imbuh Arie.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News