Jakarta: Ketua Panitia Khusus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Pansus BLBI) DPD RI Bustami Zainudin meragukan kinerja Satuan Tugas Penagihan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI).
Pasalnya, sampai 31 Maret 2022, Satgas BLBI baru menyita aset obligor dan debitur BLBI sejumlah Rp19,16 triliun. Angka ini masih jauh dari target nilai aset eks BLBI yang diperkirakan mencapai Rp110,45 triliun.
"Artinya Satgas BLBI dalam setahun persis baru mencapai 17 persen dari target. Padahal waktu kerja sudah 37 persen," ucap Bustami dalam keterangan resminya, Senin, 25 April 2022.
Satgas BLBI dibentuk Presiden Joko Widodo lewat Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021. Beleid ini dibuat dalam rangka penanganan dan pemulihan hak negara berupa hak tagih negara atas sisa piutang negara dari dana BLBI maupun aset properti.
Sayangnya, kata Bustami, kinerja Satgas BLBI ini belum memuaskan. Sebab berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2021, nilai aset eks BLBI diperkirakan mencapai Rp110,45 triliun. Namun hingga kini, nilai aset yang berhasil diselamatkan baru Rp19,16 triliun.
"Waktu kerja Tim Satgas ini terbatas, masa kerjanya hingga Desember 2023 nanti. Memiliki total masa kerja 32 bulan, selama 12 bulan ini Satgas baru mengumpulkan nilai sitaan 17 persen dari target. Saya perkirakan, hingga akhir masa kerja mereka, target Rp110,45 triliun ini tidak akan tercapai," ketusnya.
Sementara itu, Staf Ahli Pansus BLBI Hardjuno meragukan kemampuan Satgas BLBI dalam memburu aset maupun harga para obligor BLBI ini. "Saya melihat Satgas BLBI ini sudah mulai 'letoy'. Sehingga kita tidak bisa mendapatkan hasil yang maksimal sesuai target," kritiknya.
Karena itu, saran Hardjuno, Satgas BLBI tidak bisa bekerja sendiri. Mereka mesti berkomunikasi intensif dengan lembaga-lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk membantu kinerja. "KPK, Kejaksaan, Reskrim Polri, bahkan Pansus BLBI DPD siap membantu Satgas BLBI," tuturnya.
Hardjuno mengatakan kerja sama antarlembaga dalam memburu aset para obligor pengemplang BLBI sangat penting. Sebab, fasilitas BLBI memiliki sifat kejahatan yang sangat jahat dan menjadi mega skandal nomor satu negeri ini. "Hanya saat inilah momentum untuk menyelesaikannya dan memotongnya dari masa depan negara ini," ungkap dia.
Satgas BLBI semestinya juga memberi perhatian pada masalah Obligasi Rekap BLBI yang saat ini terus membebani APBN dengan pembayaran bunga rekap setahun mencapai hingga Rp50 triliun sampai Rp70 triliun. Bunga obligasi rekap ini selalu akan menjadi perkiraan karena selama ini pemerintah tidak terbuka berapa sebenarnya yang dibayarkan negara kepada bank-bank penerima obligasi rekap tersebut.
"Sekarang yang jelas bank-bank ini sudah untung, bahkan ada yang sudah jadi bank nomor satu di Indonesia bahkan Asia. Dulu waktu rekap diberikan bertujuan bank tidak kolaps, sekarang kan sudah jaya, ya mestinya ada moratorium obligasi rekap," papar Hardjuno.
Selain itu Hardjuno juga mengkritisi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mengumumkan nilai aset sitaan para obligor BLBI sebesar Rp19,16 triliun. Padahal negara punya pengalaman Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang diduga menyita aset dan nilainya ternyata tidak sesuai dengan yang di-declare.
"Nah sebaiknya Kemenkeu perjelas atau bikin web tanahnya di sini-di sini, nilai NJOP sekian, nilai pasar sekian. Jadi kita bisa sama-sama lihat," pungkas Hardjuno.
Pasalnya, sampai 31 Maret 2022, Satgas BLBI baru menyita aset obligor dan debitur BLBI sejumlah Rp19,16 triliun. Angka ini masih jauh dari target nilai aset eks BLBI yang diperkirakan mencapai Rp110,45 triliun.
"Artinya Satgas BLBI dalam setahun persis baru mencapai 17 persen dari target. Padahal waktu kerja sudah 37 persen," ucap Bustami dalam keterangan resminya, Senin, 25 April 2022.
Satgas BLBI dibentuk Presiden Joko Widodo lewat Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021. Beleid ini dibuat dalam rangka penanganan dan pemulihan hak negara berupa hak tagih negara atas sisa piutang negara dari dana BLBI maupun aset properti.
Sayangnya, kata Bustami, kinerja Satgas BLBI ini belum memuaskan. Sebab berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2021, nilai aset eks BLBI diperkirakan mencapai Rp110,45 triliun. Namun hingga kini, nilai aset yang berhasil diselamatkan baru Rp19,16 triliun.
"Waktu kerja Tim Satgas ini terbatas, masa kerjanya hingga Desember 2023 nanti. Memiliki total masa kerja 32 bulan, selama 12 bulan ini Satgas baru mengumpulkan nilai sitaan 17 persen dari target. Saya perkirakan, hingga akhir masa kerja mereka, target Rp110,45 triliun ini tidak akan tercapai," ketusnya.
Sementara itu, Staf Ahli Pansus BLBI Hardjuno meragukan kemampuan Satgas BLBI dalam memburu aset maupun harga para obligor BLBI ini. "Saya melihat Satgas BLBI ini sudah mulai 'letoy'. Sehingga kita tidak bisa mendapatkan hasil yang maksimal sesuai target," kritiknya.
Karena itu, saran Hardjuno, Satgas BLBI tidak bisa bekerja sendiri. Mereka mesti berkomunikasi intensif dengan lembaga-lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk membantu kinerja. "KPK, Kejaksaan, Reskrim Polri, bahkan Pansus BLBI DPD siap membantu Satgas BLBI," tuturnya.
Hardjuno mengatakan kerja sama antarlembaga dalam memburu aset para obligor pengemplang BLBI sangat penting. Sebab, fasilitas BLBI memiliki sifat kejahatan yang sangat jahat dan menjadi mega skandal nomor satu negeri ini. "Hanya saat inilah momentum untuk menyelesaikannya dan memotongnya dari masa depan negara ini," ungkap dia.
Satgas BLBI semestinya juga memberi perhatian pada masalah Obligasi Rekap BLBI yang saat ini terus membebani APBN dengan pembayaran bunga rekap setahun mencapai hingga Rp50 triliun sampai Rp70 triliun. Bunga obligasi rekap ini selalu akan menjadi perkiraan karena selama ini pemerintah tidak terbuka berapa sebenarnya yang dibayarkan negara kepada bank-bank penerima obligasi rekap tersebut.
"Sekarang yang jelas bank-bank ini sudah untung, bahkan ada yang sudah jadi bank nomor satu di Indonesia bahkan Asia. Dulu waktu rekap diberikan bertujuan bank tidak kolaps, sekarang kan sudah jaya, ya mestinya ada moratorium obligasi rekap," papar Hardjuno.
Selain itu Hardjuno juga mengkritisi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mengumumkan nilai aset sitaan para obligor BLBI sebesar Rp19,16 triliun. Padahal negara punya pengalaman Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang diduga menyita aset dan nilainya ternyata tidak sesuai dengan yang di-declare.
"Nah sebaiknya Kemenkeu perjelas atau bikin web tanahnya di sini-di sini, nilai NJOP sekian, nilai pasar sekian. Jadi kita bisa sama-sama lihat," pungkas Hardjuno.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id