Tapi kenyataannya, masih banyak yang belum bisa mewujudkan mimpi itu.
Menurut laporan Mastercard Small Business Barometer 2025, UMK di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan yang bikin langkah mereka tertahan, mulai dari keterbatasan akses pinjaman, minimnya pelatihan, hingga biaya tinggi untuk menjalankan usaha berkelanjutan.
"Terlepas dari berbagai rintangan yang dihadapi oleh para pelaku usaha mikro dan kecil, banyak dari mereka yang ingin menumbuhkan bisnisnya dan memperluas jangkauan mereka," kata Country Manager Mastercard Indonesia dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu, 17 Mei 2025.
Digitalisasi dan pendampingan jadi kunci pertumbuhan UMK
Laporan ini mengungkapkan bahwa dukungan berupa pelatihan digital marketing, pendampingan bisnis, hingga pelatihan keuangan bisa memberi dampak besar bagi pertumbuhan UMK.Sebanyak 81 persen pelaku usaha mengaku bahwa dukungan semacam ini berdampak positif bagi bisnis mereka, terutama dalam hal peningkatan pendapatan.
Sekitar 40 persen UMK mencari dukungan untuk digital marketing dan mentoring bisnis, sementara 20 persen fokus pada pelatihan manajemen keuangan.
Yang menarik, UMK yang dipimpin perempuan justru lebih adaptif terhadap teknologi dan lebih siap menghadapi transformasi digital. Mereka cenderung menggunakan model hybrid, memadukan toko fisik dan platform online.
Baca juga: Strategi Digital dan Branding Kunci UMKM Naik Kelas di 2025 |
Minim pinjaman, bukan berarti lemah finansial
Meski banyak yang ingin berkembang, hanya 30 persen UMK yang mendapatkan akses pinjaman usaha dalam setahun terakhir. Ini lebih rendah dibandingkan 33 persen pada laporan sebelumnya.Fakta ini bisa jadi cerminan dari ketahanan finansial atau juga budaya usaha mikro di Indonesia yang cenderung menghindari utang. Fenomena serupa juga terlihat di negara tetangga seperti Vietnam.
Peran komunitas dan pemerintah
UMK menilai pemerintah dan jaringan komunitas sebagai sumber dukungan utama. Sebanyak 68 persen pelaku usaha memilih akses dukungan melalui institusi pemerintah dan sebanyak 45 persen mengandalkan jaringan keluarga dan komunitas.Namun, ada kesenjangan wilayah. Di Jakarta, 90 persen UMK mengakses layanan dukungan dengan mudah. Tapi di Jawa Timur, hanya 50 persen yang bisa menikmati hal yang sama. UMK di daerah perdesaan masih menghadapi keterbatasan infrastruktur dan konektivitas.
"Kami menyadari bahwa pengembangan UMKM tidak dapat dilakukan sendiri. Dibutuhkan pendekatan lintas sektor, lintas pelaku, dan kolaboratif," ujar perwakilan Bidang Ketenagakerjaan dan Kependudukan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Maliki.
Praktik usaha berkelanjutan masih jadi PR besar
Meski 60 persen UMK sudah sadar pentingnya praktik berkelanjutan, lebih dari 20 persen belum menerapkannya. Alasan utamanya? Biaya bahan ramah lingkungan yang masih mahal dan kurangnya dukungan.Padahal, UMK yang belum menerapkan praktik hijau ini 1,3 kali lebih rentan menghadapi krisis. Sebaliknya, usaha yang mulai bertransformasi ke arah berkelanjutan cenderung lebih tangguh dan stabil dalam jangka panjang.
"Laporan ini memperkuat apa yang kami amati secara langsung; bahwa UMK yang menerima dukungan khusus, seperti pendampingan bisnis dan pelatihan keuangan, lebih mungkin untuk tumbuh, tetap tangguh, dan berekspansi," ungkap Direktur Eksekutif Mercy Corps Indonesia, Ade Soekadis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id