Melalui transformasi, Pertamina memastikan bisnisnya tetap berlanjut di tengah tekanan yang masih menimpa perusahaan lainnya akibat dilanda badai virus mematikan.
Sejak Juli tahun lalu, Pertamina melakukan restrukturisasi besar-besaran terhadap organisasi dan bisnis dengan membentuk holding dan subholding. Enam subholding yang terbentuk antara lain Upstream, Refining dan Petrochemical, Commercial and Trading, Gas, Integrated Marine Logistics, dan Power and New Renewable Energy.
Proses transformasi ini pun semakin kuat oleh adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap perkara Uji Materiil Nomor 61/PUU/XVII/2020 yang menegaskan bahwa upaya restrukturisasi di Pertamina Group tidak melanggar konstitusi dan legal.
"Mulai 1 September 2021 pembentukan holding dan subholding sudah efektif berjalan legal," kata Direktur Utama Pertamina saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI seperti dikutip Minggu, 10 September 2021.
Melalui struktur baru ini, diharapkan Pertamina dapat menjadi lebih lincah dan langsung tancap gas dalam mengembangkan bisnis sekaligus menjalankan amanah Pemerintah dalam penyediaan energi sesuai prinsip Availability, Affordability, Accessibility, Acceptability dan Sustainability (4A &1S).
Transformasi ini diklaim dapat memberikan manfaat besar dalam meningkatkan kinerja Pertamina Group. Dengan adanya subholding, seluruh anak perusahaan bergerak sesuai ruang lingkup sehingga mampu menangkap peluang dan mengatasi tantangan bisnis dalam persaingan di tingkat global.
Dengan transformasi yang dilakukan perseroan membidik transaksi atau nilai pasar mencapai USD100 miliar atau setara Rp1.419 triliun. Bahkan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai kuasa pemegang saham 100 persen Pertamina menargetkan perusahaan tersebut bisa menjadi global energy champion di 2024.
Executive Director ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro pun berpendapat Pertamina memiliki modal yang lengkap untuk mencapai visi tersebut, menjadi poros energi dunia. Apalagi, Pertamina memiliki aset yang sangat besar sekitar Rp1.600 triliun dengan perputaran cash flow per tahun sekitar Rp800 triliun hingga Rp1.000 triliun.
Selain menjalankan bisnis utama di sektor migas, Pertamina juga memiliki instrumen di sektor listrik dan juga energi baru terbarukan (EBT) yang digadang-gadang akan menjadi sumber energi di masa mendatang.
Pertamina memiliki anak usaha PT Pertamina Geothermal Energy yang diproyeksikan akan memimpin holding panas bumi. Seperti diketahui, pemerintah menargetkan kapasitas panas bumi yang terpasang dalam kurun waktu lima hingga enam tahun mendatang dua kali lipat dari kapasitas terpasang saat ini, yakni dari 1,2 giga watt (GW) menjadi 2,5 GW.
Pertamina juga telah membentuk konsorsium holding baterai bersama Mind ID, PT PLN (Persero) dan PT Aneka Tambang/Antam (Persero) dalam wadah bernama Indonesia Battery Corporation (IBC). IBC akan fokus dalam memproduksi baterai untuk kendaraan listrik (electrical vehicle battery). Ke depan, tidak dapat dipungkiri kendaraan listrik diyakini akan menjadi tren transportasi bersih menggantikan transportasi yang menggunakan energi BBM.
Kemudian, Pertamina pun telah bekerja sama dengan PT Bukit Asam (Persero) untuk melakukan gasifikasi batu bara menjadi dimetyl ether (DME) sebagai subtitusi LPG. Proyek gasifikasi ini akan bisa menekan impor LPG di masa mendatang.
Di sisi lain, Pertamina juga didukung oleh bisnis logistik yang terintegrasi. Bisnis ini tentunya menjadi jembatan bagi Pertamina untuk lebih leluasa mengantarkan energi bukan hanya di dalam negeri, namun juga hingga skala mancanegara.
"Jadi bekalnya sudah cukup, instrumennya sudah punya semua. Ada potensi yang cukup besar untuk menjadi perusahaan energi dunia. Ditambah dengan transformasi ini harapannya positif," kata Komaidi pada Medcom.id.
Sejalan dengan Transisi Energi
Senada, Head Center of Food, Energy and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menilai transformasi yang dilakukan oleh Pertamina telah sejalan dengan peta jalan transisi energi dunia ke depan. Ia bilang EBT akan menggantikan porsi energi fosil.
Hal ini pun sesuai dengan komitmen global yang ingin mengurangi emisi gas rumah kaca yang selama ini disebabkan oleh penggunaan energi fosil. Di lain sisi, menurut Abra, Pertamina selama ini bergerak di sektor yang akan mengalami sunset industry. Ia bilang era minyak sebagai salah satu sumber energi fosil di tanah air memang produksinya diperkirakan akan semakin menipis. Ditambah lagi saat ini investasi global untuk membiayai proyek fosil pun semakin berkurang.
"Jadi transformasi ini sudah mengarah orientasinya ke sana, untuk menangkap momentum transisi energi baik dari sisi demand maupun supply," ujar Abra pada Medcom.id.
Transformasi berbuah hasil positif
Transformasi Pertamina dengan mengkonsolidasikan subholding efektif menciptakan efisiensi. Pembentukan subholding membuat Pertamina fokus pada masing-masing bisnis yang dijalankan dan mampu memangkas biaya operasional yang sebelumnya besar.
Buah manis ini juga terefleksikan dalam laporan keuangan sepanjang semester I-2021 yang mencatatkan laba sebesar USD183 juta atau setara Rp2,6 triliun. Dibandingkan periode yang sama 2020 saat perusahaan sempat mengalami kerugian sebesar USD768 juta, capaian laba ini meningkat USD951 juta atau setara dengan Rp13,6 triliun.
Peningkatan pendapatan dan laba ditopang dari sisi hulu. Produksi hulu migas Pertamina mencapai target sebesar 850 ribu barel setara minyak per hari (BOEPD). Dengan kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) serta efisiensi pada biaya pengembangan dan biaya produksi, sektor hulu mencatat pendapatan dan laba di atas target.
Dari sisi penjualan di hilir, permintaan BBM berangsur pulih walaupun masih lebih rendah dari kondisi normal sebelum pandemi covid-19. Hingga semester I 2021, permintaan BBM rata-rata tercatat 126 ribu kiloliter (KL) per hari, atau meningkat sekitar delapan persen dari Juni 2020 yang sekitar 116 ribu KL per hari. Meskipun tidak dapat dipungkiri angka tersebut masih lebih rendah sekitar enam persen dari permintaan normal sebelum pandemi di 2019.
Selain itu, menurut Abra, transformasi ini juga bisa dilihat dari komitmen Pertamina dalam menerapkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Ia bilang komitmen TKDN perseroan telah mencapai 57 persen, jauh di atas target 30 persen.
Dengan pemenuhan TKDN, Abra memandang Pertamina ikut serta dalam memberikan dukungan terhadap industri di dalam negeri untuk terus beroperasi dan tumbuh meski diterpa pandemi.
Kemudian hasil positif juga terefleksikan dar kontribusi perseroan pada negar dalam bentuk setoran pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan dividen mencapai Rp110,6 triliun di paruh pertama 2021.
"Ini menunjukkan transformasi tadi bisa dibuktikan, ada hasilnya terhadap sumbangan ke negara, terutama PNBP itu menunjukkan produktivitas di hulu meningkat," jelas Abra.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News