Direktur Industri Kreatif Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Syaifullah Agam mengatakan, industri kreatif akan sangat berdampak terhadap sejumlah larangan bagi produk tembakau dalam RPP Kesehatan. Apalagi banyak industri kreatif yang juga bergantung pada industri hasil tembakau (IHT).
“Jadi, jelas (akan ada) ancaman PHK kepada pelaku ekonomi kreatif di subsektor ini bila RPP (Kesehatan) ini disahkan. Karena industri kreatif, seperti konser musik dan event, menjadi salah satu sektor yang akan sangat dirugikan (jika pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan disahkan),” kata dia dilansir, Kamis, 7 Desember 2023.
Terdapat sedikitnya enam subsektor industri yang terkait dengan industri hasil tembakau, seperti subsektor desain, film/video, musik, penerbitan, periklanan, dan penyiaran (TV dan radio). Secara kolektif, subsektor industri tersebut mempekerjakan lebih dari 725.000 tenaga kerja.
Syaifullah juga menegaskan bahwa IHT memiliki multiplier effect yang sangat besar karena menjangkau sektor lainnya, misalnya sektor perhotelan, makanan dan minuman, transportasi, pedagang asongan, hingga baliho. Menurut dia, dampak negatifnya akan merembet ke banyak sektor lainnya yang saling berkaitan dan menopang pertumbuhan satu sama lain.
Perlu disadari, lanjut Syaifullah, IHT memberikan kontribusi sekitar 20 persen dari total pendapatan media digital di Indonesia dengan nilai mencapai ratusan miliar rupiah per tahun. Maka, wajar jika selama ini, iklan produk tembakau adalah kontributor terbesar di media digital maupun di media luar ruangan di Indonesia.
“Kemenparekraf berharap ada solusi dari rencana pengesahan (pasal-pasal tembakau) RPP Kesehatan, sehingga tidak ada salah satu sektor yang dirugikan dan masyarakat bisa punya dampak baik dengan lahirnya RPP Kesehatan ini,” ujar Syaifullah.
Baca juga: Kemenperin dan Asosiasi Pengusaha Minta Ketentuan Tembakau Gunakan Aturan yang Berlaku |
Dari sisi industri terdampak, Wakil Ketua Dewan Periklanan Indonesia (DPI), Janoe Arijanto, mengungkap bahwa berbagai pelarangan di pasal-pasal tembakau dalam RPP Kesehatan memberatkan industri kreatif dan periklanan. Pertama, adanya larangan beriklan hampir 100 persen di platform online.
"Padahal, platform media digital dikatakannya bisa efektif untuk kebutuhan personalisasi, memilih segmen, serta memilih siapa konsumen siapa yang dituju. Jadi kalau mau ke (usia) 18 ke atas atau di daerah tertentu, atau bahkan di jam tertentu itu bisa (dipersonalisasi), tapi malah dilarang," ujarnya.
Kedua, RPP Kesehatan tersebut juga membuat produk olahan tembakau tidak dapat menempatkan iklan di berbagai event, seperti musik, budaya dan sebagainya. Selanjutnya, iklan produk tembakau juga mengalami pengurangan jam dalam iklan dari sebelumnya pukul 21.30 WIB menjadi 23.30 WIB hingga 3.00 WIB.
"Itu jam hantu, enggak ada yang nonton," tambah Janoe.
Hal ini tentunya juga akan menjadi kerugian secara finansial untuk pengusaha dan karyawan yang bekerja di industri kreatif yang mencapai 800 ribu orang. Ia mencatat, pemasukan media paling utama atas iklan produk tembakau bisa mencapai Rp9 triliun, namun pihaknya belum pernah dilibatkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News