"PP ini perlu direvisi," kata Mulyanto, dilansir dari Antara, Kamis, 4 Agustus 2022.
Menurut dia, revisi ini diperlukan karena PP yang berlaku sekarang masih kurang adaptif dengan perubahan Harga Batu Bara Acuan (HBA), sehingga nilai pendapatan negara tidak dapat maksimal.
Saat ini, lanjutnya, PP hanya mengatur lima layer HBA, serta semakin tinggi harga HBA maka persentase pajaknya semakin tinggi, dari rentang persentase pajak 14 persen sampai 28 persen. Contohnya, ketika HBA di atas USD100 per ton maka pajaknya menjadi 28 persen.
"Jadi menurut saya untuk mengoptimalkan penerimaan negara maka royalti progresif untuk ekspor batu bara yang berlaku efektif Mei 2022 ini harus konsisten dijalankan," tuturnya.
Baca: Ekonomi 2023 Bisa Tumbuh 5 persen Jika Inflasi Terkendali |
Ia berpendapat penegakan dalam penerapan royalti yang bersifat progresif akan lebih realistis dibandingkan dengan hanya berupa pengenaan pajak ekspor batu bara. Mulyanto mengusulkan jenjang royalti progresif ekspor batu bara ini ditambah dua layer lagi sehingga jadi enam layer.
Penambahan itu, ujar dia, yakni untuk HBA di atas USD200 per ton dikenakan royalti 33 persen, serta untuk HBA di atas USD300 per ton dikenakan royalti 38 persen. Ia menilai bahwa PP No 15/2022 yang terbit April 2022 ini kelihatannya tidak mengantisipasi HBA yang mencapai setinggi seperti sekarang ini.
Mulyanto menambahkan sejak awal 2022, HBA ini terus naik dari USD158 per ton pada Januari menjadi sebesar USD319 per ton untuk Juli 2022.
Sebagaimana diwartakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) subsektor mineral dan batu bara (minerba) hingga 1 Agustus mencapai Rp87,72 triliun dan telah melampaui target 2022 sebesar Rp42,36 triliun atau 207 persen
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News