Ilustrasi. Foto: dok MI/Ramdani.
Ilustrasi. Foto: dok MI/Ramdani.

Mengenal Power Wheeling, Seberapa Besar Urgensinya?

Ade Hapsari Lestarini • 30 September 2023 12:33
Jakarta: Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti implementasi power wheeling yang berisiko menambah beban fiskal negara karena Indonesia sudah oversupply listrik.
 
Melansir laman Institute for Essential Services Reform (IESR), power wheeling merupakan mekanisme yang membolehkan perusahaan swasta atau Independent Power Producers (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual setrum kepada pelanggan rumah tangga dan industri.
 
Power wheeling dibutuhkan agar selaras dengan upaya Indonesia untuk meningkatkan energi terbarukan. Namun demikian, menurut Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef Abra Talattov, risiko oversupply listrik akan muncul jika power wheeling disahkan.

"Jika dihitung, untuk kelebihan listrik satu gigawatt (GW) saja, biaya yang harus dikeluarkan tax payers melalui kompensasi atas konsekuensi skema Take or Pay bisa mencapai Rp3 triliun per GW," kata Abra, dalam diskusi Publik Pro Kontra Power Wheeling Dalam Rangka RUU EBET, dilansir dalam keterangan resmi, Sabtu, 30 September 2023.
 
Tidak hanya itu, Abra memaparkan, risiko tambahan beban APBN juga dapat muncul karena adanya potensi tambahan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik dari skema power wheeling yang bersumber dari energi terbarukan yang bersifat intermiten.
 
 
Bacaa juga: Duh, Skema Power Wheeling Cuma Bikin Kartel Ketenagalistrikan

 

Sebagai dampaknya, akan muncul tambahan cadangan putar (spinning reserve atau backup cost) untuk menjaga keandalan dan stabilitas sistem.
 
"Sehingga setiap masuknya satu GW pembangkit power wheeling akan mengakibatkan tambahan beban biaya hingga Rp3,44 triliun (biaya take or pay + backup cost) yang tentu akan membebani keuangan negara," jelas dia.
 
Artinya jika diasumsikan, rata-rata oversupply listrik sebesar 6-7 GW per tahun, maka potensi oversupply selama 2022-2030 mencapai 48-56 GW atau setara dengan tambahan biaya Rp165 triliun-Rp192 triliun.
 
Abra menjelaskan, tanpa adanya pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
 
Dalam RUPLT itu, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 GW dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW. "Dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6 persen," tegas Abra.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan