Ilustrasi pengguna rokok elektrik - - Foto: dok AFP
Ilustrasi pengguna rokok elektrik - - Foto: dok AFP

Pengguna Rokok Elektrik Capai 2,2 juta Orang di 2020, Naik 83%

Husen Miftahudin • 22 Januari 2021 18:00
Jakarta: Kementerian Perindustrian (Kemenperin) melaporkan pengguna Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) di 2020 mencapai 2,2 juta orang. Angka ini naik signifikan bila dibandingkan dengan jumlah pengguna pada 2018 yang hanya sebanyak 1,2 juta orang.

HPTL merupakan hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau selain yang disebut sigaret, cerutu, rokok daun, dan tembakau iris yang dibuat secara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen. HTPL meliputi rokok elektrik (vape), produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco product), tembakau molasses, tembakau hirup (snuff tobacco), tembakau kunyah (chewing tobacco), dan lain sebagainya.
 
"Saat ini, produk HPTL semakin diminati oleh pasar. Pada 2020 tercatat pengguna vape di Indonesia berdasarkan data dari Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) telah mencapai 2,2 juta orang, dengan jumlah toko ritel mencapai 5.000 (pengecer)," ungkap Kepala Subdirektorat Program Pengembangan Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Mogadishu Djati Ertanto dalam sebuah webinar yang dikutip Jumat, 22 Januari 2021.
 
Mogadishu menyebutkan bahwa pengguna rokok elektrik terus mengalami kenaikan. Pada 2017, jumlah vape store hanya sebanyak 4.000 outlet dengan pengguna sekitar 900 orang, 650 ribu orang di antaranya merupakan pengguna aktif.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Adapun untuk 2020, distributor atau importir rokok elektrik telah mencapai sebanyak 150 perusahaan, produsen likuid 300 pabrik, produsen alat dan aksesoris lainnya 100 perusahaan, serta pengusahaan lainnya yang bergerak di bidang HPTL mencapai 50 orang. Tak hanya itu, industri HPTL bahkan telah menyerap tenaga kerja sebanyak 50 ribu orang.
 
Terkait hal tersebut, Mogadishu mengaku perlu regulasi untuk meningkatkan kepercayaan publik akan kualitas produk HPTL melalui standardisasi. Saat ini, Kemenperin telah menyelesaikan konsensus SNI Hasil Tembakau Dipanaskan (HTP) yang sekarang sudah berada pada tahap jajak pendapat.
 
Kementerian Perindustrian juga mengusulkan penyusunan RSNI E-liquid di 2021. Untuk menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI), Kemenperin sangat berhati-hati. Sebab dari ratusan jenis produk makanan dan minuman, Kemenperin hanya menerapkan enam SNI wajib.
 
"Karena hal ini (SNI wajib) akan berlaku untuk produk impor maupun dalam negeri, industri kecil maupun industri besar. Jadi kami selektif sekali untuk menetapkan SNI wajib, jangan sampai itu menjadi senjata makan tuan. Jangan sampai industri dalam negeri jadi terbebani atau bahkan tutup," tegas Mogadishu.
 
Berdasarkan hasil riset Pusat Studi Konstitusi Universitas Trisakti terkait Persepsi Konsumen di Indonesia terhadap Penggunaan Rokok Elektrik menunjukkan bahwa responden di Indonesia mulai menggunakan rokok elektrik sebagai upaya intervensi kesehatan, seperti membantu mengurangi konsumsi rokok (30 persen), alasan kesehatan (11 persen), dan mengikuti anjuran ahli kesehatan (9 persen). Lebih lanjut, 80 persen responden menilai bahwa promosi HPTL sebagai alternatif tembakau harus lebih digalakkan.
 
Sejumlah responden di Indonesia juga masih menganggap konsumsi nikotin lewat produk HPTL memiliki risiko yang sama dengan proses pembakaran pada rokok konvensional. Padahal, variasi produk HPTL tidak menghasilkan tar (bahan kimia yang muncul dari proses pembakaran).
 
Kepala Pusat Studi Konstitusi Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan edukasi yang tepat mengenai manfaat dan profil risiko HPTL yang lebih rendah, seperti vape, tembakau yang dipanaskan (HTP), snus, dan kantong nikotin, menjadi sangat mendesak.
 
"Regulasinya (untuk HPTL) harus tersendiri. Namun, sampai hari ini memang produksinya masih relatif kecil. Kalau idealnya, harusnya dibuat aturan tersendiri yang terpisah dari peraturan produk tembakau konvensional," tutur dia.
 
Menurut survei yang sama, 50 persen responden juga mengindikasikan adanya kekhawatiran terhadap potensi kandungan bahan ilegal sebagai penyebab timbulnya  risiko kesehatan. Adapun sebanyak 90 persen responden percaya jika vape seharusnya tersedia di pasaran sebagai pilihan alternatif bagi perokok konvensional, dan oleh karenanya membutuhkan regulasi yang tepat.
 
"Memang kita harus duduk bersama, dari swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan pemerintahan. Bagaimana suatu solusi yang tepat, membuatkan suatu regulasi, agar kedua belah pihak saling menguntungkan. Paling tidak, bisa meminimalkan hal-hal yang tidak diinginkan," jelas Pengawas Perdagangan Ahli Madya, Koordinator Bidang Pengawasan Produk Hasil Pertanian, Kimia, dan Aneka, Kementerian Perdagangan (Kemendag) Amiruddin Sagala mengakhiri.  

 
(Des)



LEAVE A COMMENT
LOADING

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif