Jakarta: Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Jerry Sambuaga menilai sikap Uni Eropa mengenai sawit Indonesia tidak konsisten dengan prinsip dasar fair and free trade. Uni Eropa pun dianggap terus mencari-cari alasan untuk menghambat masuknya produk sawit asal RI.
Jerry mengungkapkan alasan yang dipakai Uni Eropa untuk menghambat masuknya produk sawit Indonesia tidak cukup kuat secara ilmiah. Kondisi itu disinyalir menjadi upaya Uni Eropa untuk menghindar dari persaingan pasar yang adil.
"Kami berharap Uni Eropa jujur dan punya sikap ilmiah dalam berargumen. Dengan begitu, argumen yang disampaikan obyektif. Kalaupun mereka akhirnya kalah berargumen dengan kita, ya harus diterima secara obyektif juga," tukas Jerry dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 22 Mei 2021.
Menurutnya, dasar berpikir Uni Eropa telah salah khususnya dalam implementasi parameter-parameter mengenai lingkungan. Selain itu, Uni Eropa cenderung melihat secara parsial dan tidak melihat proses sejarah dengan baik dalam penggunaan lahan.
"Misalnya, Indonesia dilarang menggunakan lahan hutan produksi untuk kelapa sawit. Kritikan dan larangan itu dilakukan saat ini, di saat hutan mereka sendiri sudah dibabat di masa lalu. Artinya, mereka sendiri tidak mempermasalahkan hutan mereka yang tinggal sedikit sebagai bahan komparasi ketika melihat hutan Indonesia," papar dia.
Jerry menegaskan bahwa Indonesia berhak untuk mengalokasikan sumber-sumber daya sesuai dengan kerangka kebijakan yang dimiliki. Hal itu merupakan bentuk kedaulatan ekonomi Indonesia.
Apalagi, sebut Jerry, dalam menyusun kebijakan ekonomi dan pembangunan, Indonesia sudah mempunyai berbagai pertimbangan multisektor termasuk isu lingkungan, sosiologis, hingga kesehatan.
"Artinya, Indonesia tidak menetapkan kebijakan secara parsial dan pasti sudah mempertimbangkan kondisi riil alam dan masyarakat Indonesia. Karena itu, setiap pihak dalam perdagangan internasional harus berkomitmen pada konsep fair trade," tegas Jerry.
Sawit merupakan salah satu komoditas terpenting dalam perdagangan luar negeri Indonesia. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan pendapatan devisa dari minyak sawit bisa mencapai USD20 miliar hingga USD21 miliar atau setara Rp298,2 triliun (kurs Rp14.200 per USD) di tahun 2020. Selain itu, kelapa sawit juga berdampak positif dalam perspektif trickle down effect karena banyaknya industri yang terkait di dalamnya.
Adapun Uni Eropa mempermasalahkan produk kelapa sawit Indonesia, khususnya biodiesel karena dianggap melanggar Konversi Penggunaan Lahan Tak Langsung atau Indirect Land Usage Conversion (ILUC) serta Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).
Indonesia pun menggugat hambatan perdagangan itu di Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO). Jerry beberapa kali memimpin delegasi Indonesia di Jenewa melawan argumen Uni Eropa. Ia optimistis Indonesia akan memenangkan gugatan, sehingga kelapa sawit RI akan bisa memperkuat peran di pasar internasional.
Jerry mengungkapkan alasan yang dipakai Uni Eropa untuk menghambat masuknya produk sawit Indonesia tidak cukup kuat secara ilmiah. Kondisi itu disinyalir menjadi upaya Uni Eropa untuk menghindar dari persaingan pasar yang adil.
"Kami berharap Uni Eropa jujur dan punya sikap ilmiah dalam berargumen. Dengan begitu, argumen yang disampaikan obyektif. Kalaupun mereka akhirnya kalah berargumen dengan kita, ya harus diterima secara obyektif juga," tukas Jerry dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 22 Mei 2021.
Menurutnya, dasar berpikir Uni Eropa telah salah khususnya dalam implementasi parameter-parameter mengenai lingkungan. Selain itu, Uni Eropa cenderung melihat secara parsial dan tidak melihat proses sejarah dengan baik dalam penggunaan lahan.
"Misalnya, Indonesia dilarang menggunakan lahan hutan produksi untuk kelapa sawit. Kritikan dan larangan itu dilakukan saat ini, di saat hutan mereka sendiri sudah dibabat di masa lalu. Artinya, mereka sendiri tidak mempermasalahkan hutan mereka yang tinggal sedikit sebagai bahan komparasi ketika melihat hutan Indonesia," papar dia.
Jerry menegaskan bahwa Indonesia berhak untuk mengalokasikan sumber-sumber daya sesuai dengan kerangka kebijakan yang dimiliki. Hal itu merupakan bentuk kedaulatan ekonomi Indonesia.
Apalagi, sebut Jerry, dalam menyusun kebijakan ekonomi dan pembangunan, Indonesia sudah mempunyai berbagai pertimbangan multisektor termasuk isu lingkungan, sosiologis, hingga kesehatan.
"Artinya, Indonesia tidak menetapkan kebijakan secara parsial dan pasti sudah mempertimbangkan kondisi riil alam dan masyarakat Indonesia. Karena itu, setiap pihak dalam perdagangan internasional harus berkomitmen pada konsep fair trade," tegas Jerry.
Sawit merupakan salah satu komoditas terpenting dalam perdagangan luar negeri Indonesia. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan pendapatan devisa dari minyak sawit bisa mencapai USD20 miliar hingga USD21 miliar atau setara Rp298,2 triliun (kurs Rp14.200 per USD) di tahun 2020. Selain itu, kelapa sawit juga berdampak positif dalam perspektif trickle down effect karena banyaknya industri yang terkait di dalamnya.
Adapun Uni Eropa mempermasalahkan produk kelapa sawit Indonesia, khususnya biodiesel karena dianggap melanggar Konversi Penggunaan Lahan Tak Langsung atau Indirect Land Usage Conversion (ILUC) serta Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).
Indonesia pun menggugat hambatan perdagangan itu di Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO). Jerry beberapa kali memimpin delegasi Indonesia di Jenewa melawan argumen Uni Eropa. Ia optimistis Indonesia akan memenangkan gugatan, sehingga kelapa sawit RI akan bisa memperkuat peran di pasar internasional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News