Ia juga mengungkapkan, tidak hanya Pelabuhan Belawan sebagian besar pelabuhan di Sumatra hanya sebagai feeder. Sampai sekarang, dominasi Malaysia dan Singapura itu terus berlanjut.
Dari Januari 2022 hingga Mei 2022, sekitar 51 persen peti kemas yang bongkar muat di Belawan menuju atau berasal dari Malaysia. Sisanya, 44 persen ke Singapura dan Thailand sekitar lima persen.
"Kami di Kementerian BUMN sedang berikhtiar untuk menjadikan Belawan sebagai pelabuhan ekspor yang melayani direct call," kata Erick Thohir dikutip dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 12 Juli 2022.
Ia menggambarkan pelayaran langsung (direct call) kapal peti kemas dari Indonesia ke Los Angeles hanya perlu 23 hari. Namun, dengan transshipment dan rute yang sama perlu waktu 31 hari. Selain itu ada biaya tambahan sehingga ongkosnya 20 hingga 30 persen lebih mahal.
Menurutnya, pengembangan Belawan bisa dimulai dengan mendatangkan kapal-kapal kontainer berukuran besar ke Belawan. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kapasitas dan peralatan bongkar muat di Pelabuhan Belawan agar memadai untuk pengangkutan direct call (pelayaran langsung ke negara tujuan).
Selain itu, volume muatan peti kemas juga harus ditumbuhkan. Caranya, dengan menjadikan Belawan sebagai gateway bagi pelabuhan-pelabuhan kecil di sekitarnya. Muatan kargo yang tersebar di pelabuhan-pelabuhan kecil di Sumatra, dapat dibawa ke Belawan untuk kemudian bersama-sama diangkut ke negara tujuan.
Berdasarkan catatan PT Pelindo, 550.871 TEUs peti kemas bongkar muat di Belawan pada 2021. Sebanyak 59 persen berasal/menuju pelabuhan-pelabuhan di Malaysia. Sisanya, 25 persen menuju Singapura, dan 16 persen ke Thailand, Taiwan, dan beberapa negara lain.
Baca juga: Transformasi BUMN, Erick: Pembangunan Karakter Jadi Kunci |
Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat, ekspor dari Sumatra Utara sejauh ini tersebar ke lebih dari 30 negara. Berdasarkan tonase pada 2021, ekspor dari daerah ini paling banyak ditujukan ke Tiongkok yaitu 16 persen, India sebanyak 6,7 persen, Jepang sebanyak 6,2 persen, dan Amerika Serikat sebanyak empat persen. Sementara itu porsi Malaysia dan Singapura sebagai negara tujuan akhir ekspor dari Sumut sangatlah kecil yaitu kurang dari dua persen.
Ia menekankan, ekspor barang yang transit ke negara lain, sangat merugikan perekonomian. Praktik ini membuat ekspor Indonesia kurang kompetitif karena harus menanggung biaya logistik yang mahal serta makan waktu. Selain itu, Indonesia juga harus kehilangan banyak devisa.
"Selain merugikan pelaku ekspor, transshipment ini membuat Indonesia kehilangan lebih banyak devisa. Jasa layanan kapal kontainer selama ini dibayar dalam mata uang asing (dolar AS)," tuturnya.
Data Bank Indonesia mencatat, dari USD6,286 miliar defisit neraca jasa transportasi Indonesia pada 2021, sebesar USD6,232 miliar atau 99 persen disumbangkan oleh defisit pada biaya pengangkutan barang (sea freight).
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News