Ilustrasi. Foto: AFP/Adek Berry.
Ilustrasi. Foto: AFP/Adek Berry.

Kerugian Ekonomi Gara-gara Peredaran Produk Palsu Capai Rp291 Triliun

Ade Hapsari Lestarini • 21 Desember 2021 19:44
Jakarta: Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) secara berkala melakukan Studi Dampak Pemalsuan terhadap Perekonomian di Indonesia lima tahun sekali sejak 2005. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya memahami bagaimana kecenderungan praktik-praktik pelanggaran kekayaan intelektual di Indonesia dan dampaknya terhadap perekonomian.
 
Hasil Studi Dampak Pemalsuan Terhadap Perekonomian di Indonesia 2020 menjadi pembaharuan studi yang dilakukan oleh MIAP secara berkala. Melalui kerja sama dengan Institute for Economic Analysis of Law & Policy-Universitas Pelita Harapan (IEALP UPH), studi ini mencakup delapan komoditi, yaitu produk farmasi, kosmetik, barang dari kulit, pakaian, makanan dan minuman, pelumas dan suku cadang otomotif, catridge, dan software di beberapa kota besar di Indonesia.
 
"Melalui studi ini kami berharap dapat memberikan manfaat dan gambaran bagi para pelaku usaha atau industri secara luas, sekaligus juga dapat menjadi masukan untuk menstimulasi langkah-langkah perbaikan dari semua pemangku kepentingan untuk terus bekerja sama menghadirkan ekosistem yang lebih aman bagi masyarakat," ungkap Sekretaris Jenderal MIAP Yanne Sukmadewi, dalam keterangan resminya, Selasa, 21 Desember 2021.

Berdasarkan hasil rekapitulasi olah data, studi ini menemukan urutan tertinggi produk yang rentan dipalsukan:

  1. Software 84,25 persen.
  2. Kosmetik 50 persen.
  3. Produk farmasi 40 persen.
  4. Pakaian dan barang dari kulit sebesar masing-masing 38 persen.
  5. Makanan dan minuman 20 persen.
  6. Pelumas dan suku cadang otomotif sebesar 15 persen.
Data pemalsuan ini menunjukkan seberapa besar kecenderungan permintaan terhadap produk palsu atau ilegal di pasar. Secara nominal, kerugian ekonomi yang disebabkan oleh peredaran produk palsu tersebut mencapai lebih dari Rp291 triliun. Angka ini dengan kerugian atas pajak sebesar Rp967 miliar serta lebih dari dua juta kesempatan kerja.

"Melalui update tersebut, MIAP mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk tidak menyerah dalam setiap upaya yang dilakukan dalam memberantas pemalsuan," jelas Yanne.
 
Menurut dia, hingga saat ini baik pemerintah maupun pelaku usaha telah bahu-membahu mengurangi dampak yang disebabkan oleh pelanggaran terhadap kekayaan intelektual termasuk peredaran barang palsu melalui tugas dan fungsinya masing-masing.
 
Perwakilan IEALP UPH Henry Soelistyo Budi menambahkan, menyikapi kondisi pandemi dan kemudahan mobilisasi, lebih kurang 500 responden diperoleh untuk mengisi kuesioner yang disiapkan di Jakarta dan Surabaya, serta beberapa kota lainnya. Selain data dari hasil kuesioner tersebut, pihaknya juga menggunakan data input-output 2010 Badan Pusat Statistik sebagai rujukan.

Kebijakan pemberantasan produk palsu

Sejauh ini, pemerintah telah berupaya secara serius dan terus menerus melakukan tindakan dan menyusun kebijakan untuk memberantas produksi dan peredaran produk palsu. Dari segi regulasi, pemerintah dan DPR RI telah menyusun Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
 
Demikian juga penggantian Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2012 dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2019 tentang Perintah Penangguhan Sementara (PERMA). Substansi Perma ini menjadi salah satu instrumen operasional di samping Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pengendalian Impor atau Ekspor Barang yang Diduga Merupakan atau Berasal dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual.
 
Adapun dari segi operasional, Peraturan Pemerintah Tahun 2017 ini telah ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Keuangan sebagai landasan pelaksanaan tugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencegah peredaran barang palsu melalui kepabeanan.
 
"Seluruh kebijakan dan peraturan yang disusun oleh pemerintah tersebut merupakan hasil pemahaman terhadap pola/praktik-praktik pemalsuan yang seolah-olah berpacu dengan begitu cepatnya perubahan pola/praktik-praktik pemalsuan yang saat ini terjadi," jelas MIAP Executive Director Justisiari P. Kusumah.
 
Oleh karena itu, upaya perlindungan kekayaan intelektual harus terus ditegakkan dengan partisipasi seluruh pemangku kepentingan kekayaan intelektual.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan