Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad berharap pemerintah tidak kendur menagih utang tersebut. Menurutnya, pemerintah sudah banyak mengeluarkan anggaran untuk menalangi kewajiban Lapindo guna menanggulangi bencana lumpur yang terjadi pada 2006 lalu, sehingga wajar untuk terus mengejar utang tersebut.
"Pemerintah sudah keluar duit lumayan banyak. Menurut saya, cukup fair kalau pemerintah menagih (utang) itu ke Lapindo," ucap Tauhid kepada wartawan di Jakarta dikutip Jumat, 7 Mei 2021.
Bencana Lumpur Lapindo terjadi pada 29 Mei 2006 lalu. Buntut dari bencana tersebut, perusahaan konglomerasi Bakrie itu memperoleh pinjaman Rp781,68 miliar, namun utang yang ditarik dari pemerintah (dana talangan) sebesar Rp773,8 miliar.
Hingga saat ini, Lapindo Brantas Inc belum juga melunasi utangnya. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat, Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya harus mengembalikan uang negara sebesar Rp1,91 triliun.
Tauhid mengungkapkan bahwa sampai saat ini pihak Lapindo belum juga selesai melunasi kewajiban mereka. Hal itu seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah untuk lebih bijak lagi melakukan penagihan. Kemampuan pihak Lapindo dalam melakukan pembayaran, juga harus dipertimbangkan.
Jika nanti pemerintah terpaksa mengambil alih aset Lapindo, sebutnya, pemerintah harus jeli melihat aset-aset Lapindo yang bisa dianggap berharga. Ia percaya, tidak semua aset Lapindo bisa dianggap berharga.
"Aset ini kan yang saya kira nilai value-nya cukup tinggi, misal lahan tanah dan sebagainya. Kalau yang lain kan umumnya tidak bisa. Kalau masih punya nilai prospek ke depan bagus dan diverifikasi, dinilai oleh appraisal, mungkin patut diperhitungkan," ujarnya.
Tauhid menilai bahwa pada pencatatan buku nilai aset Lapindo berkurang karena sejumlah hal, seperti penyusutan nilai aset. "Hanya lahan saja yang masih bisa, bangunan dan sebagainya menjadi tidak penting bagi pemerintah," ucapnya.
Jika masalah utang Lapindo tidak kunjung selesai, ia khawatir ke depannya negara bisa dirugikan. Kata dia, bisa saja nantinya ada keputusan politis yang akan memutihkan kewajiban Lapindo terhadap pemerintah. Tauhid menegaskan bahwa hal itu tidak boleh terjadi.
"Kita juga tidak mau seperti itu (pemutihan utang Lapindo). Pemerintah sebaiknya kencang sampai kapan pun, kan uang negara yang digunakan untuk mengganti kerugian masyarakat," tuturnya.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kemenkeu menyampaikan Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya baru membayar utang kepada pemerintah sebesar Rp5 miliar. Total utang perusahaan tersebut mencapai Rp773,3 miliar belum termasuk bunga 4,8 persen per tahun dan telah jatuh tempo pada 10 Juli 2019.
DJKN sebelumnya tengah mempertimbangkan aset yang dimiliki oleh Lapindo untuk diambil alih oleh pemerintah untuk pembayaran utang. Namun aset tanah yang sudah tertimbun lumpur itu harus dilakukan penilaian sehingga kelayakannya menjadi jelas.
Mantan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Isa Rachmatarwata sebelumnya mengatakan bahwa pembayaran utang dengan aset (asset settlement) tidak bisa dilakukan begitu saja. Pemerintah harus menilai apakah aset yang ada bisa dinilai atau tidak.
"Jadi kami masih mencoba menghimpun satu opini dari profesi penilai. Untuk membangun satu standar praktek, bagaimana menilai tanah yang kemudian kita enggak terlalu jelas juga batas-batasnya, karena sudah tertimbun lumpur," kata Isa dalam diskusi virtual di Jakarta, Jumat, 24 Juli 2020.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News