Tidak hanya itu, besaran kenaikan tarif CHT yang berlebihan secara terus-menerus juga dinilai menjadi penyebab merosotnya realisasi penerimaan negara dari CHT hingga 2,35 persen (yoy) atau senilai Rp213,48 triliun pada 2023.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur, Adik Dwi Putranto, turut menyoroti kinerja fungsi cukai yang tidak tercapai sebagai sumber penerimaan negara serta pengendalian konsumsi. Realisasi penerimaan cukai rokok justru berkurang, sementara angka prevalensi perokok tak kunjung turun.
Kebijakan kenaikan CHT pada 2023-2024 juga dinilai tidak mampu membendung maraknya perpindahan konsumsi ke rokok murah dan rokok ilegal. Permasalahannya jika rokok ilegal dengan harga Rp15 ribu semuanya masuk ke perusahaan, sedangkan rokok legal yang masuk ke perusahaan hanya 25 persen.
"Selebihnya masuk ke negara berupa cukai. Berarti apabila rokok legal dengan harga Rp35 ribu maka hanya sekitar Rp8 ribu-Rp9 ribu yang masuk ke perusahaan untuk biaya produksi, karyawan, dan keuntungan. Ya, pasti kalah kalau (yang legal) mau melawan yang ilegal," kata Adik kepada wartawan dilansir Selasa, 2 April 2024.
Adik menyebut, pemerintah harus lebih serius dalam menutup usaha rokok ilegal untuk meningkatkan penerimaan negara. Sebab, angka kerugian negara dari usaha ilegal, termasuk rokok ilegal, jumlahnya sudah sangat tinggi sekali untuk dapat ditambal oleh negara. Selain itu, Adik juga menegaskan angka kenaikan cukai idealnya single digit.
Baca juga: Kenaikan Cukai Rokok Dinilai Tidak Efektif, Kok Bisa? |
Terpisah, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Golkar, Misbakhun menjelaskan, menjamurnya rokok ilegal tidak lepas dari pengaruh kenaikan harga rokok akibat tarif cukai yang naik jauh lebih tinggi dari angka inflasi nasional serta pendapatan konsumen. Hal tersebut akhirnya berimbas pada daya beli masyarakat, sehingga menurunkan produksi rokok.
"Justru konsumen cenderung mencari produk yang harganya memenuhi kemampuan membelinya. Oleh sebab itu, setiap kenaikan tarif cukai perlu diiringi dengan peningkatan pengawasan yang semakin ketat terhadap sejumlah perusahaan rokok ilegal. Penurunan volume produksi rokok karena merebaknya rokok ilegal tentu merugikan negara," tegasnya.
Maka dari itu, Misbakhun mengatakan, kenaikan cukai secara terus-menerus akan berdampak pada peningkatan peredaran rokok ilegal dan keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT). Saat ini terjadi penurunan jumlah pabrikan rokok, terutama Golongan 1 karena memiliki tingkat sensitivitas terbesar apabila terjadi perubahan harga.
Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai sisi di industri yang terlibat dalam menentukan kebijakan cukai di Indonesia dengan melakukan rembuk bersama semua pemangku kepentingan secara berkesinambungan. Ia menilai kenaikan harga rokok bukan langkah efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok.
"Dampak kenaikan harga rokok terhadap peningkatan peredaran rokok ilegal dan penurunan pabrik rokok lebih besar dibandingkan dengan penurunan angka prevalensi merokok. Sehingga, saat ini pemerintah perlu menahan kenaikan harga rokok untuk menjaga keseimbangan pilar lain yang terlibat dalam IHT," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News