Saat ini perusahaan tersebut hanya memiliki satu orang direksi yakni Hery Soegiarsi Soewandi yang menjabat sebagai Direktur Utama. Bahkan, jumlah pegawainya saat ini tersisa 21 orang. Apabila ditambah dengan anak usaha menjadi 47 karyawan.
Selain menjalankan inti bisnis sebagai perusahaan leasing saat ini, PANN juga memiliki anak usaha yang bergerak di sektor perhotelan. Hery mengaku memiliki rencana untuk menjual anak usahanya itu, sehingga nanti pegawai anak usaha akan ditarik ke induk.
"Pegawainya 21 orang dan anak usaha 26 orang, ketika dimerger akan menjadi 47 orang," kata Herry saat RDP dengan Komisi VI DPR, Selasa malam, 14 Juli 2020.
Herry mengatakan saat ini PANN memang tengah mengalami kesulitan pendanaan. Oleh karenanya, perseroan mengusulkan untuk mendapatkan penyertaan modal negara (PMN) agar bisa mempertahankan operasional bisnis sebagai penyedia pembiayaan bagi sektor maritim.
Herry pun menceritakan perkara perusaan pelat merah ini mengalami kerugian atau ekuitas negatif. Padahal sejak didirikan pada 1974 hingga 1994, bisnis PANN selalu moncer sehingga bisa menyetorkan dividen dan pajak ke negara.
Herry mengatakan pada 1994 pemerintah menempatkan dua transaksi program kerja sama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Jerman dan Pemerintah Spanyol.
Ia memaparkan kerja sama dengan Pemerintah Jerman berbentuk pinjaman proyek yang diterima untuk pesawat Boeing 737-200 sebanyak 10 unit dengan nilai sebesar USD89,6 juta saat itu. Sedangkan dengan Pemerintah Spanyol berupa 31 unit kapal niaga armada dengan nilai USD182 juta.
Padahal, diakui Hery, PANN tidak memiliki kompetensi dalam dua bisnis tersebut baik pesawat maupun kapal armada, sebab spesifikasi bisnis PANN lebih kepada kapal ikan. Ia bilang kedua transaksi ini sebenarnya bukan merupakan inti binis yang dijalankan oleh perseroan.
Herry mengatakan pesawat-pesawat tersebut ditempatkan di beberapa maskapai di antaranya Merpati Airlines sebanyak tiga unit, Bouraq Indonesia Airlines sebanyak dua unit, Mandala Airlines sebanyak dua unit dan Sempati Air sebanyak tiga unit. Namun sayangnya, lanjut Herry, seluruh maskapai tersebut kolaps dan tidak pernah membayar sepeser pun dari penempatan pesawat tersebut kepada PANN, kecuali Merpati yang pernah mengangsur satu kali.
Padahal, dari pinjaman untuk 10 pesawat tersebut, PANN telah mencicil sekitar USD34 juta pada pihak Jerman. Sementara PANN tidak mendapatkan pemasukan dari empat maskapai tersebut. Hal ini yang membuat perusahaan mengalami kesulitan likuidasi hingga akhirnya tergerus.
Selain itu, untuk pinjaman 31 kapal, dia bilang hanya 14 unit yang terselesaikan pembangunannya, sementara 17 unit lainnya tidak terselesaikan. Sialnya lagi, meskipun 14 unit berhasil diselesaikan, tidak bisa dipasarkan karena dianggap tidak sale-able. Harga keekonomian kapal-kapal tersebut berbeda jauh jika dibandingkan dibuat di dalam negeri atau di Spanyol.
"Pada saat itu dibuat di dalam negeri harganya Rp22 miliar, sedangkan dari Spanyol harganya Rp81 miliar. Transaksi ini juga menggerus likuiditas PAAN karena pembangunan kapal, PAAN sudah keluarkan kurang lebih Rp126 miliar termasuk membayar administrasi bank Rp23 miliar," tutur dia.
Herry mengatakan PANN harus menyelesaikan kedua proyek tersebut lantaran pemerintah menjanjikan untuk menambah modal PANN dari Rp45 miliar menjadi Rp500 miliar. Namun, hingga kini tambahan modal tersebut tidak terealisasikan. Sehingga akhirnya menggerus likuiditas perusahaan hingga puncaknya pada 2004, ekuitas PANN mulai negatif lantaran keuntungan PANN tidak mampu menutupi kerugian yang dialami oleh dua proyek tersebut.
Akhirnya pada 2006 PANN meminta pada Kementerian Keuangan untuk menyetop accure bunga pinjaman akibat tidak ada keuntungan yang dihasilkan dari dua proyek itu. Di tahun tersebut PANN meminta untuk melakukan restrukturisasi dan barulah pada 2013 disetujui.
Herry mengatakan untuk itu, PANN harus mengajukan konversi pinjaman service level agreement (SLA) yang membengkak dari USD271 juta menjadi USD461 juta akibat denda dan bunga pinjaman. Pengajuan konversi SLA menjadi Penyertaan Modal Negara (PMN) nontunai baru disetujui pada 2019. PMN nontunai tersebut baru dianggarkan di APBN 2020 sebesar Rp3,76 triliun.
"Kami minta dikonversi utang SLA jadi PMN dan disetujui 2019, pada saat itu pokoknya Rp3,76 triliun dan Rp2,8 trilun dihapuskan," ujar dia.
Lebih lanjut Herry menjamin dengan penghapusan SLA cukup untuk mempertahankan operasional perusahaan untuk tiga tahun ke depan. Dengan restrukturisasi ini, diharapkan bisa menciptakan cadangan-cadangan untuk perusahaan melakukan pembiayaan ke depannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News