“Momentum reformasi kebijakan subsidi energi harus segera dipercepat di semester dua ini. Sebab, ini akan membuat perubahan drastis kebijakan subsidi energi,” kata Ekonom INDEF Abra Talattov saat dikonfirmasi, Rabu, 21 September 2022.
Dia melihat momen ini akan menimbulkan beberapa implikasi, seperti inflasi meski sifatnya temporer, serta resistensi dari masyarakat terhadap kebijakan baru. Sekaligus, kemungkinan untuk evaluasi.
"Jadi, ketika dampak negatifnya cukup luas dan besar, pemerintah bisa melakukan penyesuaian atau penyempurnaan kebijakan,” ujar Abra.
Baca: Pengalihan Subsidi BBM Dinilai Terobosan Jitu |
Di sisi lain, dia melihat APBN semester I/2022 yang surplus memperkuat argumen reformasi subsidi energi. Sebab, jika terjadi risiko, dapat diredam dengan fleksibilitas APBN.
“Saya pikir momentum tepat adalah di tahun ini dibanding tahun depan saat defisit APBN tidak bisa lagi di atas 3 persen dari PDB. Jika ternyata ada ekses negatif dari kebijakan transformasi subsidi energi, pemerintah masih bisa meredamnya,” kata Abra.
Intinya, kata dia, pemerintah mesti mengkaji besaran subsidi. Termasuk seberapa besar efisiensi yang diciptakan dari perubahan kebijakan subsidi energi.
Perspektif senada disampaikan Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky. Ia menilai saat ini momentum tepat melakukan reformasi fiskal, terutama subsidi BBM.
Indonesia, kata dia, telah tiba di ujung pandemi dan situasi saat ini juga belum terlalu jauh memasuki tahun politik. Dengan demikian, ongkos politiknya masih tidak sebesar jika ditunda ke tahun berikutnya.
“Dalam arti lebih banyak yang perlu dinegosiasi dan perlu banyak mendapatkan dukungan politik dari sisi mana pun,” kata Riefky.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News