Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Maritim dan Investasi (Marves) Basilio Dias Araujo mengatakan setidaknya dari 600 anjungan migas di Indonesia, terdapat sekitar 100 anjungan yang sudah tidak beroperasi.
Basilio mengatakan sesuai peraturan nasional maupun internasional, anjungan migas lepas yang tidak lagi dipakai harus dimusnahkan atau dibongkar. Menurut dirinya pembongkaran 100 anjungan ini menjadi kewajiban pemerintah yang pendanaanya melalui Kementerian Keuangan.
“Dibutuhkan sekitar Rp13 triliun untuk membongkar anjungan ini. Bisa dibayangkan berapa yang harus dikeluarkan pemerintah setiap tahunnya,” kata Basilio dalam webinar pemanfaatan anjungan migas lepas pantai, Selasa, 23 Maret 2021.
Menurutnya jika anjungan tersebut bisa dimanfaatkan kembali untuk kegiatan atau sektor lain, maka akan menyelesaikan persoalan pendanaan tersebut. Misalnya di sektor perikanan dan kelautan, anjungan bisa dijadikan terumbu karang buatan atau tempat budi daya ikan. Selain itu, anjungan juga bisa digunakan sebagai pangkalan Angkatan Laut di tengah laut.
“Jadi ada alternatif-alternatif untuk anjungan ini dimanfaatkan. Tetapi ini tergantung apabila insinyur katakan anjungan ini bisa dipakai sampai sekian tahun dengan aman,” tutur Basilio.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Julius Wiratno mengatakan pihaknya sudah banyak menerima permintaan pemanfaatan anjungan dari berbagai pihak.
Ia bilang SKK Migas pernah menerima surat dari salah satu anak usaha BUMN yang mau membongkar anjungan tanpa biaya dengan syarat bongkaran anjungan itu menjadi milik perusahaan tersebut. Kemudian, Kementerian Pertahanan juga pernah meminta titik-titik anjungan yang bisa dijadikan tambat kapal. Namun, kedua usulan ini tidak ada tindak lanjutnya.
Pembongkaran anjungan migas lepas pantai memang butuh dana besar. Salah satunya, proyek pembongkaran anjungan di Blok Attaka di Kalimantan Timur yang diperkirakan menyedot biaya hingga USD6 juta-USD7 juta per anjungan.
Ia bilang beban pembiayaan yang harus ditanggung pemerintah itu lantaran perbedaan kontrak migas di masa lalu. Sebelum 1964, kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) tidak memuat klausal kewajiban pencadangan dana pascatambang (abandonment and site restoration/ASR) dari perusahaan yang melakukan operasi hulu migas di anjungan tersebut. Kemudian dengan PSC skema cost recovery, seluruh aset migas ini menjadi milik pemerintah. Berbeda dengan kontrak setelah tahun tersebut yang memuat perihal ASR menjadi kewajiban perusahaan.
Lebih jauh, pendanaan memang menjadi kendala pembongkaran anjungan migas ini. Terutama untuk rencana pembongkaran 100 anjungan yang tidak lagi dioperasikan. “Tantangan biaya jadi kendala untuk 100 platform karena nggak ada dana yang dicadangkan. Ada yang akan diselesaikan dengan cara hibah, kerja sama,” pungkas Julius.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News