Ilustrasi pemasangan PLTS atap - - Foto: dok Medcom
Ilustrasi pemasangan PLTS atap - - Foto: dok Medcom

Revisi Aturan PLTS Atap Harus Ciptakan Keadilan

Suci Sedya Utami, Husen Miftahudin • 17 Agustus 2021 19:03
Jakarta: Indonesian Resources Studies (IRESS) mendukung upaya pemerintah merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang penggunaan sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh konsumen PT PLN (Persero).
 
Namun demikian, Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara menilai revisi tersebut masih berfokus pada pertimbangan aspek ekonomi dan bisnis. Padahal, revisi diperlukan guna mewujudkan energi berkeadilan agar masyarakat luas tertarik memasang PLTS Atap.
 
"Ditengarai motif investasi, bisnis dan perburuan rente lebih mengemuka dibanding kepentingan keadilan, kebersamaan dan keberlanjutan pelayanan BUMN. Terlihat dari upaya Kementerian ESDM yang memaksakan skema tarif ekspor-impor listrik net-metering menjadi 1:1," kata Marwan dalam keterangan resmi, Selasa, 17 Agustus 2021.

Saat ini, ketentuan tarif net-metering dalam Permen tersebut 1:0,65. Artinya, jika saat konsumen mengkonsumsi atau mengimpor listrik dari PLN adalah X per kWh, maka pada saat konsumen mengekspor listrik dari storage di rumah ke jaringan PLN tarifnya adalah 0,65X.
 
Tarif ekspor listrik konsumen ke PLN memang lebih rendah dibandingkan dengan tarif impor konsumen dari PLN lantaran perusahaan setrum tersebut harus menyediakan berbagai sarana pelayanan. Maka dari itu, perubahan tarif ekspor-impor dari 0,65:1 menjadi 1:1 akan merugikan konsumen dan PLN.
 
Sebenarnya tarif ekspor-impor 0,65:1 sesuai Permen sudah cukup memadai dan menguntungkan konsumen, terutama gaya hidup sebagai pengguna energi bersih dapat diraih bersamaan dengan tagihan listrik yang lebih murah.
 
Menurut Marwan, kajian akademis terbaru oleh sejumlah pakar energi menyatakan bahwa tarif ekspor-impor listrik yang wajar dan adil adalah 0,56:1. Namun  ia bilang pemerintah tetap bisa mempertahankan tarif yang berlaku saat ini 0,65:1 dan tidak perlu menaikkannya.
 
"Jika tarif ekspor-impor diubah menjadi 1:1, maka berbagai fasilitas PLN tidak pernah diperhitungkan sebagai faktor penting dalam proses ekspor-impor listrik antara konsumen PLTS Atap dengan PLN," tutur dia.

 
Sementara itu, kewajiban PLN membeli listrik PLTS Atap memaksa negara membayar kompensasi berupa selisih biaya pokok penyediaan listrik (BPP) PLTS yang nilainya sekitar Rp1.400 per kWh dengan BPP PLTU yang nilainya sekitar Rp900 per kWh.
 
Marwan mengungkapkan hal tersebut akan semakin memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) meski ada dana kompensasi. Namun pada dasarnya dana tersebut merupakan subsidi energi.
 
Padahal, penyediaan PLTS hanya memanfaatkan porsi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) maksimum 40 persen. Sisanya komponen impor, terutama dari Tiongkok.
 
"Ironisnya, subsidi tersebut malah dinikmati para pihak yang diberi kesempatan berbisnis melalui tarif ekspor-impor liberal 1:1, atas nama energi bersih dan target EBT 23 persen," pungkas dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Des)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan