Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat prevalensi merokok di kalangan anak-anak berusia 18 tahun ke bawah terus merosot dalam lima tahun terakhir. Pada 2022, terdapat 3,44 persen anak berusia 18 tahun ke bawah yang merokok. Presentase ini turun secara konsisten dibandingkan pada 2018 yang mencapai 9,65 persen.
Dengan alasan menurunkan prevalensi perokok anak, rencana revisi beleid yang saat ini diprakarsai Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga berencana untuk melarang penjualan rokok batangan. Menanggapi hal ini, Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS) Ali Mahsun menyatakan, selama ini para pedagang kecil yang menjual rokok sejatinya tidak menjual rokok kepada anak-anak, baik secara batangan atau bungkusan.
"Kami sepenuhnya mendukung upaya pemerintah menekan prevalensi perokok anak dan remaja. Oleh karenanya, kami mendeklarasikan Gerakan Nasional Pedagang dan Rakyat Kecil: Rokok Bukan Untuk Anak. Seluruh pedagang kaki lima, pedagang asongan, pedagang kelontong, dan teman-teman ekonomi rakyat kecil berkomitmen untuk tidak boleh menjual rokok, baik dengan bentuk batangan atau bungkusan, ke anak-anak," tegas Ali dalam keterangan tertulis, Senin, 6 Februari 2023.
Wacana larangan penjualan rokok batangan memiliki konsekuensi ketidakadilan bagi kondisi ekonomi rakyat kecil. Sebab, banyak pedagang yang bakal terdampak atas kebijakan ini, bahkan berpotensi kehilangan sumber pendapatan. Hal ini dikarenakan banyak pedagang yang memiliki modal kecil dan hanya bisa menjual rokok secara batangan.
"Rencana larangan penjualan rokok batangan ini terbit tanpa memikirkan aspek-aspek lainnya. Prevalensi perokok anak dan penjualan rokok batangan tidak memiliki korelasi yang signifikan," tuturnya.
Baca juga: Pemerintah Larang Penjualan Rokok Batangan, Bagaimana Pengawasannya? |
Di kesempatan berbeda, pengamat kebijakan, Agustinus Moruk Taek menjelaskan penyusunan kebijakan di Indonesia selama ini terlalu fokus terhadap fokus hukum dan sering alpa dalam melihat konteks maupun keadilan regulasi.
Hal tersebut membuat suatu regulasi tidak tepat guna, karena tidak mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat yang seharusnya mendasari suatu kebijakan. Imbasnya, regulasi yang terbit justru menimbulkan ketidakadilan dan masalah baru.
Dalam studi yang dilakukannya, Agustinus menyimpulkan rencana revisi PP 109/2012 dilakukan tanpa riset yang kuat. Muatan revisi dinilai hanya berisi kausalitas tanpa argumentasi dan dukungan data yang akurat.
"Jadi, apakah PP 109/2012 mendesak untuk direvisi? Jawabannya tidak. Hasil studi memperlihatkan regulasi saat ini masih relevan untuk menekan prevalensi perokok anak," paparnya.
Alih-alih menjadi solusi, Agustinus menekankan bahwa revisi berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi dan sosial karena akan menjadi tekanan baru bagi seluruh mata rantai industri tembakau, termasuk para pedagang kecil yang tergolong pelaku UMKM.
*Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id*
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News