Jakarta: Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyebutkan ada potensi maladministrasi dalam proses pengambilan keputusan rencana impor beras sebanyak satu juta ton oleh pemerintah. Pasalnya, impor dilakukan disaat stok cadangan beras pemerintah mencukupi dan Indonesia juga memasuki masa panen raya.
"Ombudsman melihat ada potensi maladministrasi, dengan potensi ini kami ingin masuk (menyelidiki)," kata Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika dalam keterangannya pada konferensi pers daring di Jakarta, Rabu, 24 Maret 2021.
Menurutnya, terdapat keanehan pada rencana kebijakan impor beras khususnya dalam mekanisme penentuan kebijakan impor beras pada rapat koordinasi terbatas (rakortas).
"Kami akan mendalami bagaimana sebetulnya mekanisme rakortas dalam penentuan impor beras. Karena polemik ini terjadi, beberapa indikasi produksi kita tidak ada masalah, stok beras di masyarakat tidak ada masalah, stok di penggilingan dan di pengusaha tidak ada masalah," terang Yeka.
Yeka tidak menafikan bahwa beras bukanlah sebatas komoditas pangan semata, namun memiliki dampak sosial politik yang cukup luas. Keputusan impor beras harus didasari dengan data saintifik yang valid dan berbasis bukti.
Selain maladministrasi dalam kebijakan impor beras, Ombudsman juga menduga ada potensi maladministrasi dalam pengelolaan stok beras di gudang Perum Bulog.
Yeka mengatakan saat ini terdapat 300 ribu hingga 400 ribu ton beras di gudang Bulog yang berpotensi turun mutu dan tidak bisa dipakai. Beras tersebut bersumber dari pengadaan beras dalam negeri pada 2018-2019 dan juga beras impor 2018.
Ombudsman melihat masalah yang dihadapi oleh Perum Bulog saat ini adalah hanya mendapatkan penugasan menyerap beras dalam negeri maupun luar negeri namun tidak memiliki kewenangan untuk mendistribusikan.
Semenjak program bantuan sosial berupa Beras untuk Keluarga Sejahtera (Rastra) dihentikan oleh pemerintah dan diganti menjadi Bantuan Pangan Nontunai (BPNT), Bulog kehilangan pangsa pasar sebanyak 2,6 juta ton per tahun semenjak program tersebut dihapuskan. Alhasil, Bulog memiliki stok beras menahun yang berpotensi turun mutu dan tidak bisa dipakai.
"Jika stok beras sekitar 400 ribu ton di gudang Bulog benar-benar tidak bisa terpakai, potensi kerugiannya bisa mencapai Rp1,25 triliun," pungkas dia.
"Ombudsman melihat ada potensi maladministrasi, dengan potensi ini kami ingin masuk (menyelidiki)," kata Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika dalam keterangannya pada konferensi pers daring di Jakarta, Rabu, 24 Maret 2021.
Menurutnya, terdapat keanehan pada rencana kebijakan impor beras khususnya dalam mekanisme penentuan kebijakan impor beras pada rapat koordinasi terbatas (rakortas).
"Kami akan mendalami bagaimana sebetulnya mekanisme rakortas dalam penentuan impor beras. Karena polemik ini terjadi, beberapa indikasi produksi kita tidak ada masalah, stok beras di masyarakat tidak ada masalah, stok di penggilingan dan di pengusaha tidak ada masalah," terang Yeka.
Yeka tidak menafikan bahwa beras bukanlah sebatas komoditas pangan semata, namun memiliki dampak sosial politik yang cukup luas. Keputusan impor beras harus didasari dengan data saintifik yang valid dan berbasis bukti.
Selain maladministrasi dalam kebijakan impor beras, Ombudsman juga menduga ada potensi maladministrasi dalam pengelolaan stok beras di gudang Perum Bulog.
Yeka mengatakan saat ini terdapat 300 ribu hingga 400 ribu ton beras di gudang Bulog yang berpotensi turun mutu dan tidak bisa dipakai. Beras tersebut bersumber dari pengadaan beras dalam negeri pada 2018-2019 dan juga beras impor 2018.
Ombudsman melihat masalah yang dihadapi oleh Perum Bulog saat ini adalah hanya mendapatkan penugasan menyerap beras dalam negeri maupun luar negeri namun tidak memiliki kewenangan untuk mendistribusikan.
Semenjak program bantuan sosial berupa Beras untuk Keluarga Sejahtera (Rastra) dihentikan oleh pemerintah dan diganti menjadi Bantuan Pangan Nontunai (BPNT), Bulog kehilangan pangsa pasar sebanyak 2,6 juta ton per tahun semenjak program tersebut dihapuskan. Alhasil, Bulog memiliki stok beras menahun yang berpotensi turun mutu dan tidak bisa dipakai.
"Jika stok beras sekitar 400 ribu ton di gudang Bulog benar-benar tidak bisa terpakai, potensi kerugiannya bisa mencapai Rp1,25 triliun," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News