Di awal pandemi covid-19 pada 2020, CHT naik rata-rata 23 persen dan Harga Jual Eceran (HJE) naik 35 persen. Kemudian pada 2021, CHT naik rata-rata 12,5 persen dan pada 2022 kenaikannya sebesar 12 persen. Padahal, pemerintah masih berupaya memulihkan perekonomian nasional akibat pandemi covid-19, disusul kondisi pertumbuhan ekonomi dan inflasi masih lesu, serta daya beli yang lemah.
Henry menekankan kenaikan tarif cukai yang eksesif secara berturut-turut menyebabkan disparitas harga rokok legal dibanding rokok ilegal semakin lebar. Berdasarkan hasil kajian lembaga riset Indodata pada 2021, peredaran rokok ilegal mencapai 26,30 persen atau dengan estimasi potensi besaran pendapatan negara yang hilang akibat peredaran rokok ilegal sebesar Rp53,18 triliun.
"Sejatinya, kondisi industri hasil tembakau legal tidak sedang baik-baik saja. Inilah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan situasi riil IHT legal nasional saat ini," ketus Henry dalam siaran persnya, Jumat, 28 Januari 2022.
Selain itu, lanjutnya, hingga saat ini penindakan rokok ilegal yang dilakukan pemerintah belum dapat mengungkap sampai ke ranah hulu (produsen). Pasalnya, meningkatnya peredaran rokok ilegal semakin merugikan penerimaan negara, merugikan produsen rokok legal, serta berdampak negatif bagi kesehatan masyarakat karena kualitasnya yang tidak terkontrol.
Untuk melawan perdagangan rokok ilegal, Henry mendorong pemerintah mempertimbangkan pendekatan multimetode, termasuk membangun kemitraan, meningkatkan validitas dan keandalan data, meluncurkan kampanye pendidikan dan kesadaran publik, meningkatkan upaya peningkatan kapasitas, dan memprioritaskan intensifikasi pemberantasan peredaran rokok ilegal.
Ia menilai kebijakan cukai yang eksesif selama tiga tahun terakhir ini tidak selaras dengan kebijakan pembinaan industri hasil tembakau nasional yang berorientasi menjaga lapangan kerja, memberikan nafkah petani tembakau, dan menjaga kelangsungan investasi.
"Implikasi kebijakan cukai yang sudah berlangsung tiga tahun berturut-turut ini berdampak negatif bagi kelangsungan industri rokok yang legal, potensi PHK tenaga kerja, petani tembakau, dan bahkan kesehatan yang dijadikan tirani oleh kebijakan cukai," ketus dia.
Di sisi lain, Henry juga menyoroti kehadiran Undang-Undang (UU)Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam konteks ini, ia menengarai bahwa pelanggaran atas rokok ilegal menggunakan asas ultimum remedium (mengesampingkan pidananya), sehingga ada kesan seolah pemerintah justru menggelar karpet merah atau memberikan insentif bagi rokok ilegal.
"Jika dugaan itu benar, seharusnya sanksi tegas diberikan bagi pelaku rokok ilegal sehingga memberikan efek jera, bukan diselesaikan secara administratif yang punya kesan negotiable dengan mengesampingkan pidana," tegasnya.
Berdasarkan kajian Tim Gappri pada 2019, dampak ekonomi dari keberadaan industri rokok terhadap perekonomian Indonesia cukup besar. Pada 2019, diperkirakan output yang tercipta dari keberadaan industri ini mencapai Rp840,9 triliun.
Keberadaan industri rokok ini juga berdampak pada peningkatan nilai tambah ekonomi yang diukur oleh Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Pada 2019, keberadaan industri rokok diperkirakan berkontribusi pada penciptaan PDB sebesar Rp454,8 triliun. Angka itu setara dengan 2,9 persen PDB di 2019.
Sementara, penciptaan lapangan kerja diperkirakan sebanyak 4,6 juta orang. Dari segi penerimaan negara, diperkirakan pemerintah pusat menerima pajak tidak langsung sebesar Rp91,3 triliun, cukai hasil tembakau sebesar Rp188,8 triliun pada 2021, serta sejumlah pajak penghasilan badan, pajak penghasilan karyawan, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
"Sayangnya, kenaikan tarif cukai yang eksesif ini berdampak negatif pada PDB industri hasil tembakau legal dan perekonomian secara umum, mengingat keterkaitan rantai nilai industri hasil tembakau legal sangat panjang. Merujuk data resmi Gappri, sejak 2019 ke 2021, khusus hanya PDB riil industri hasil tembakau legal turun sekitar Rp8,4 triliun, artinya terjadi penurunan produksi yang diukur secara moneter," tutup Henry.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News