"Kondisi ini justru berdampak positif bagi neraca perdagangan Indonesia yang mencatatkan surplus perdagangan sebesar USD3,8 miliar di Februari lalu, peningkatan masif dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya mencatatkan surplus sebesar USD0,9 miliar," ungkap Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky dalam rilis Analisis Makroekonomi yang dikutip Kamis, 17 Maret 2022.
Menurutnya, kombinasi dari lonjakan ekspor dan penurunan impor mendorong kenaikan surplus sebesar USD2,8 miliar bulan lalu. Meningkatnya ekspor sebagian besar dikontribusi oleh minyak kelapa sawit akibat lonjakan harga yang mendorong ekspor minyak nabati dan hewani meningkat lebih dari USD1,7 miliar di Februari, atau melonjak sekitar 141 persen ketimbang Januari.
Di sisi lain, impor Februari turun akibat semakin rendahnya impor produk mesin dan besi baja seiring menurunnya aktivitas ekonomi di tengah kasus covid-19 varian Omicron yang terus memuncak.
"Secara keseluruhan, nilai impor turun sekitar USD1,5 miliar dari USD18,2 miliar di Januari 2022 ke USD16,6 miliar di bulan lalu," papar Riefky.
Dijelaskan lebih lanjut, invasi militer Rusia ke Ukraina mendorong tingkat inflasi lantaran Rusia merupakan produsen minyak terbesar ketiga dunia dengan tingkat produksi mencapai 12 persen suplai minyak global dan produsen gas terbesar kedua dengan kontribusi mencapai 17 persen dari suplai gas global. Sedangkan Ukraina merupakan lumbung gandum global dengan kontribusi mencapai 25 persen suplai gandum dunia.
"Eskalasi konflik antarkedua negara telah mendorong harga beberapa komoditas tersebut. Lebih lanjut, efek substitusi mendorong lonjakan permintaan komoditas energi lainnya, seperti batu bara dan minyak kelapa sawit, serta berbagai komoditas pertanian seperti jagung dan kedelai," urainya.
Dia bilang, selagi kelompok negara maju dipastikan perlu menaruh usaha lebih keras dalam mengatasi isu inflasi, kerugian paling besar diprediksi justru akan dialami oleh kelompok negara berkembang.
Minyak yang dianggap sebagai bahan baku antara universal, berperan besar barang dan jasa serta ongkos transportasi melalui berbagai jalur transmisi. Sehingga, naiknya harga minyak akan memberikan tantangan signifikan pada kelompok negara berkembang yang masih tertinggal dalam perkembangan pemulihan ekonominya.
Di sisi lain, produksi pertanian negara berkembang terpukul oleh kelangkaan pupuk, menimbang Rusia merupakan salah satu produsen pupuk terbesar dunia. Ditambah dengan disrupsi terhadap pasokan gandum global, tekanan harga pangan global akan memiliki konsekuensi yang sangat buruk.
"Mengingat isu kelaparan yang terus meningkat selama berlangsungnya pandemi, terutama di negara miskin, krisis pangan memiliki potensi untuk mengganggu hajat hidup ratusan juta orang di seluruh dunia," tutup Riefky.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News