Beleid tersebut dinilai membatasi pemajangan iklan produk tembakau, dengan radius 500 meter dari satuan pendidikan. Termasuk tempat bermain anak. Ketua Umum AMLI Fabianus Bernadi menilai pengesahan PP itu problematis.
“Aturan radius inilah yang bermasalah dan akan mematikan bisnis kami. Jumlah tenaga kerja media luar-griya ini bisa semakin drop sampai ke pemecatan atau PHK langsung," kata Fabianus dalam keterangan yang dikutip Rabu, 28 Agustus 2024.
Baca: Merasa Dirugikan, Serikat Pekerja Rokok Nilai PP Kesehatan Tak Transparan |
Hal tersebut diungkap Fabianus dalam diskusi bertajuk 'Kontroversi Pasal Larangan Media Luar Ruang 500 Meter dari Satuan Pendidikan dan Tempat Bermain Anak di Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024'. Menurut dia, aturan itu membunuh pekerja di bidang terkait.
"Angkanya (PHK) bisa sampai 59 persen dari total pekerja. Ini sangat berbahaya," kata Fabianus.
Selain pekerja, dia menilai aturan itu bakal memberi dampak buruk bagi 86 persen anggota AMLI. Dari persentase itu, kata Fabianus, 44 persen akan terdampak negatif karena 50 persen penghasilan dari iklan produk tembakai.
Dia mengeklaim 23 persen sisanya dipastikan terancam gulung tikar jika aturan ini diberlakukan. Karena 75 persen penghasilannya berasal dari iklan produk tembakau. Atas nama asosiasi, Fabian ingin peraturan ini direvisi dengan mempertimbangkan masukan dari pelaku usaha yang terdampak.
“Harapannya, aspirasi kami didengar oleh pemerintah. Sebaiknya, aturan terkait reklame di luar-griya mengacu pada PP 109/2012 saja. Yang terbaru ini (Pasal 449) dihapuskan saja,” kata dia.
Ketua Badan Musyawarah Regulasi Dewan Periklanan Indonesia (DPI) sekaligus Anggota Tim Perumus Etika Pariwara Indonesia, Herry Margono, ikut bersuara. Dia mengatakan pengambilan kebijakan ini seakan tidak memahami situasi yang terjadi di lapangan.
Sebelum aturan ini disahkan, DPI telah menyampaikan aspirasi kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes), namun tidak pernah direspon. Pihaknya juga menyoroti bahwa mayoritas sektor periklanan di daerah terdampak langsung dari zonasi 500 m pelarangan iklan produk tembakau tersebut dan nilainya besar, sehingga dapat mempengaruhi usaha periklanan secara signifikan.
Mewakili dewan periklanan, Hery juga meminta agar aturan ini direvisi dan ditinjau ulang sesuai dengan berbagai masukan industri yang dinilai masih luput dari partisipasi publik.
“Harusnya, PP itu bisa membuat industri semakin berkembang, bukan malah menekan kami,” terangnya.
Senada, Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Sutrisno Iwantono, mengkritik aturan ini. Menurut dia, dari sisi hukum, APINDO melihat PP 28 Tahun 2024 cacat proses sejak awal karena tidak melibatkan pemangku kepentingan yang terdampak. Kemunculan peraturan ini telah menimbulkan gejolak yang luar biasa dari lintas sektor, termasuk penolakan secara tegas dari para pengusaha periklanan serta pedagang dan peritel.
“Berbagai penolakan ini menandakan bahwa belum adanya komunikasi yang terjalin antara pemeritah dan pelaku usaha. Setahu saya di APINDO, saya juga tidak pernah terlibat diskusi tersebut. Maka, bisa disimpulkan bahwa kebijakan ini memiliki banyak persoalan dan cacat dalam implementasi, sehingga sulit untuk dilaksanakan di lapangan,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News