baca juga: Perlu Dukungan Keuangan untuk Mempercepat Transisi Energi |
"Di luar itu, keuangan berkelanjutan juga dapat menurunkan biaya modal (cost of capital) dan membangun resiliensi perusahaan," ujar dia, dikutip dari Antara, Kamis, 1 September 2022.
Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia berkomitmen mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan menggunakan sumber daya dalam negeri dan 41 persen dengan bantuan internasional termasuk perihal keuangan, transfer teknologi, serta peningkatan kapasitas bisnis di 2030.
Hal tersebut dinyatakan bakal memengaruhi korporasi yang perlu menyesuaikan strategi dan tata kelola perusahaan dalam melakukan bisnis maupun pengaturan modal untuk pengembangan usaha ke depan.
"Untuk menurunkan emisi karbon dan mencapai tujuan bersih nol emisi pada 2050, pemangku kepentingan termasuk sektor swasta perlu bekerja sama untuk menerapkan praktik keberlanjutan bisnis," kata Hariyadi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Boston Consulting Group dan Global Financial Market Association, lanjutnya, pencapaian target pengurangan karbon di skala global pada 2050 membutuhkan pendanaan sebesar USD150 triliun selama tiga dekade mendatang. Sementara pembiayaan di wilayah Asia diperkirakan USD66 triliun.
Kini, sebut dia, kesadaran di kalangan swasta untuk mencapai nol emisi karbon sangat terlihat. Karena itu, diperlukan ekosistem pendukung yang lebih besar terutama dari bank dan pembuat kebijakan guna bertransisi menuju pembangunan berkelanjutan.
Menurut Hariyadi, berbagai produk baru penyedia jasa keuangan sering diluncurkan oleh pelbagai pihak publik dan swasta. Namun, belum semua perusahaan memahami cara mengakses fasilitas tersebut.
"Proyek yang berkelanjutan akan terkendala oleh kebijakan yang tidak memadai dan kerangka kerja yang tidak diatur. Kesenjangan permintaan dan penawaran serta kurangnya perangkat untuk mengatasi hambatan tersebut membutuhkan kolaborasi bisnis, bank, dan pembuat kebijakan," ucap Ketua Apindo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News