"Jangan lagi para nelayan sendiri-sendiri, petani sendiri-sendiri, tapi gabung dalam koperasi. Tidak boleh lagi menjadi informal, tapi harus formal," ucap dia, dalam Musyawarah Nasional IV Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), dilansir dari Antara, Selasa, 19 Juli 2022.
Di Indonesia, lanjutnya, rata-rata seorang petani memiliki lahan di bawah setengah hektare. Jika cara bertani masih dilakukan secara perorangan skala sempit, dia menganggap, Indonesia takkan membangun ketahanan pangan sampai kapan pun.
Beberapa negara maju seperti Australia dan Amerika Serikat yang memiliki kebun dengan ribuan hektare dinilai dapat menjadi contoh konkret dari penerapan korporatisasi petani, sehingga suplai pangan berjalan secara stabil di kedua negara tersebut
Pemerintah juga disebut sudah mengimplementasikan konsep korporatisasi seperti koperasi petani pisang di Tenggamus, Lampung, yang memiliki 400 hektare untuk membuat kebun pisang siap ekspor dengan keterlibatan seribu petani dalam koperasi.
Baca: IMF Nilai Reformasi Jadikan Indonesia Tahan Guncangan |
"Jadi petani itu fokus menanam pisangnya. Nanti dibeli oleh koperasi, lalu koperasi (yang berperan) untuk mengekspor produk. Jadi petani tidak pusing,” kata Teten.
Dalam kesempatan tersebut, Menkop fokus mendorong para nelayan untuk berkoperasi agar memiliki nilai tambah seperti Koperasi Minosaroyo di Cilacap, Jawa Tengah, yang mampu mengelola penyediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) hingga Tempat Pelelangan Ikan (TPI) nelayan.
Hal tersebut serupa dengan nelayan di Jepang yang mampu menjadi pemain utama perikanan dunia. Salah satu strategi yang diterapkan mereka adalah memperkuat peran koperasi sehingga bisa memastikan akses pembiayaan, pasar, dan inovasi kepada para nelayan.
“Kita tahu salah satu keunggulan domestik ekonomi Indonesia itu sektor kelautan, tapi yang prihatin kenapa nelayan masih miskin. Pasti ada yang salah, ini yang mesti kita garis bawahi bersama-sama,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News