"Kalau yang existing skenario sekarang, menurut umur dari PLTU yang ada sekarang, 2056 adalah tahun di mana kita tidak ada lagi PLTU batu bara," ujarnya dikutip Jumat, 18 Februari 2022.
Pemerintah, kata Febrio, sedang menyiapkan strategi untuk mempercepat transisi energi melalui pembangunan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) dan mengurangi penggunaan batu bara secara bertahap.
Percepatan itu akan dirumuskan melalui energy transition mechanism yang akan mengaitkan pembangunan EBT dengan mengurangi pemanfaatan batu bara. Dalam proses mengurangi emisi, pemerintah tak hanya fokus pada pembangunan EBT semata, tapi juga mempercepat pengurangan pemanfaatan batu bara.
Hal penting yang juga sedang dikalkulasikan oleh pemerintah, yakni memastikan sisi supply dan demand pada EBT. Pemerintah tak ingin pembangunan EBT justru menjadi bumerang lantaran tak ada pasar yang menyerapnya.
"Kita ingin pastikan supply dan demand listrik terjaga. Jangan sampai kita paksa PLN untuk beli listrik dari pembangkit EBT tapi demand tidak naik, rugi PLN. Kalau rugi PLN, maka rugi APBN," jelas Febrio.
Sedangkan dalam upaya pengurangan pemanfaatan batu bara, pemerintah juga perlu mengompensasi PLN. Menurut Febrio, hal tersebut akan membutuhkan banyak pembiayaan. Alih-alih mengandalkan uang negara, pemerintah juga sedang mencari cara agar pendanaan bisa didapat dari negara lain.
"Ini yang dihubungkan antara facing down coal dengan pembangunan EBT. Ini ada funding yang involve di sini, funding itu tidak harus semuanya ditanggung oleh Indonesia, ditanggung oleh global. ini sedang kita siapkan dalam komunike itu (G20)," pungkas Febrio.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News