Dalam analisis anjloknya tingkat konsumsi masyarakat untuk berbelanja di industri ritel modern, Roy membagi dua golongan. Yakni golongan masyarakat dengan status ekonomi lemah atau menengah ke bawah dan golongan masyarakat dengan status ekonomi menengah ke atas.
"Golongan masyarakat menengah ke bawah itu paling suffer (menderita). Kondisi suffer ini karena memang mereka kehilangan pendapatan, jadi yang disebut kehilangan daya beli adalah menengah ke bawah ini," ujar Roy dalam acara Polemik Trijaya tentang Efek Resesi di Tengah Pandemi yang juga disiarkan secara virtual, Sabtu, 7 November 2020.
Roy menjelaskan, hilangnya daya beli golongan ekonomi menengah ke bawah terjadi lantaran sebagian besar masyarakat pada kelompok ini terkena kebijakan 'dirumahkan' dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Bagi karyawan yang terkena kebijakan 'dirumahkan', pendapatan mereka anjlok akibat gaji mereka dipotong perusahaan.
"Kalau dirumahkan, praktis dipotong gajinya, ada yang 40 persen dan bahkan ada yang sampai 60 persen. Kondisi ini membuat mereka untuk makan saja sudah bagus, apalagi mereka beli lebih daripada itu, sehingga daya belinya hilang sekali, apalagi yang terkena PHK. Itulah yang dibilang daya beli rendah," papar Roy.
Sementara untuk masyarakat dengan golongan ekonomi menengah ke atas yang terjadi bukan soal daya beli, melainkan lebih karena menahan belanja atau hold consumption. Golongan ini lebih sadar kesehatannya dan lebih mengikuti perkembangan covid-19 di sekitarnya.
Karena lebih mengikuti perkembangan covid-19, masyarakat ekonomi ke atas ini membatasi kunjungannya ke toko ritel modern termasuk ke pusat-pusat perbelanjaan. Pada saat penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Ketat, kunjungan kelompok ini ke toko ritel modern dan pusat-pusat perbelanjaan hanya sekitar 15-20 persen dari kondisi normal.
"Jadi sangat rendah sekali, seperlima saja dari 100 persen. Tapi pada saat PSBB Transisi menjadi lebih kurang seperempat, kunjungannya jadi sekitar 25-30% persen, ada kenaikan sedikit kunjungannya," ungkap dia.
Sebagai konklusi, menurut Roy, jebloknya konsumsi rumah tangga terjadi karena penerapan PSBB. Kondisi tersebut diperparah dengan masifnya pemberitaan terkait meluasnya infeksi covid-19 di Indonesia.
"PSBB mengganggu dan menahan belanja. Bagi yang punya uang mereka menahan belanja, tapi bagi yang tidak mampu selain tidak punya uang mereka juga enggan untuk berbelanja di masa PSBB," pungkas Roy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News