"Oleh karena itu, kami memberikan perhatian serius terhadap pengembangan sektor-sektor industri yang berorientasi ekspor," kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita ketika menjadi narasumber pada Rapat Kerja Kementerian Perdagangan 2020 di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Rabu, 4 Maret 2020.
Adapun lima sektor industri pengolahan nonmigas yang mencatatkan nilai ekspornya paling besar pada 2019, yakni industri makanan dan minuman yang mampu menembus hingga USD27,28 miliar. Kemudian, industri logam dasar sebesar USD17,37 miliar, serta industri tekstil dan pakaian jadi mencapai USD12,90 miliar.
Selanjutnya, industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia menyumbang USD12,65 miliar serta industri barang dari logam, komputer, barang elektronik, optik dan peralatan listrik yang menyetor senilai USD11,91 miliar.
"Pada Januari 2020, nilai ekspor produk industri mencapai USD10,52 miliar atau berkontribusi sebesar 78,45 persen dari total nilai ekspor nasional sebesar USD13,41 miliar," ungkap Agus.
Nilai ekspor terbesar diberikan industri makanan dan minuman (USD2,10 miliar), diikuti industri logam dasar (USD1,74 miliar) serta industri tekstil dan pakaian jadi (USD1,08 miliar).
Agus menyebutkan, Amerika Serikat menjadi negara tujuan utama pengapalan produk industri nasional, disusul Tiongkok, Jepang, Singapura, dan India. Pemerintah juga terus berupaya membuka akses perluasan pasar ekspor, terutama ke negara-negara non-tradisional.
"Dalam hal ini, negara harus hadir. Misalnya, kami terus berkoordinasi dengan Kemendag,” ujarnya.
Menperin menyebutkan, upaya strategis untuk menggenjot nilai ekspor produk industri nasional, antara lain dilakukan melalui diversifikasi produk industri unggulan, membuka secara agresif pasar-pasar baru, dan mendorong investasi untuk menjadikan Indonesia sebagai basis ekspor.
"Contohnya, kita perlu memanfaatkan peluang adanya Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA), dengan mendorong industri otomotif di Tanah Air agar bisa mengisi pasar ekspor ke Australia," paparnya.
Di samping itu, Kemenperin sudah memetakan 15 sektor yang akan mendapat prioritas pengembangan untuk digenjot kinerja ekspornya. Lima belas sektor potensial tersebut, yakni industri pengolahan minyak kelapa sawit dan turunannya, industri makanan, industri kertas dan barang dari kertas, industri crumb rubber, ban, dan sarung tangan karet, industri kayu dan barang dari kayu, serta industri tekstil dan produk tekstil.
Selanjutnya, industri alas kaki, industri kosmetik, sabun, dan bahan pembersih, industri kendaraan bermotor roda empat, industri kabel listrik, industri pipa dan sambungan pipa dari besi, industri alat mesin pertanian dari besi, industri elektronika konsumsi, industri perhiasan, serta industri kerajinan.
"Bahkan, kita punya Pindad, yang tidak hanya ahli memproduksi alutsista, tetapi juga ahli membuat alat berat yang berkaitan dengan konstruksi dan pertanian. Ini satu hal yang membanggakan, dan kami akan dorong supaya mereka juga bisa ekspor, seperti kita ekspor gerbong kereta api yang diproduksi oleh INKA. Selain itu kita juga sudah ekspor dari produk PT PAL dan PT DI," imbuhnya.
Agus berharap kepada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dapat memperluas fasilitasnya untuk jenis-jenis produk manufaktur nasional yang punya potensi pasar ekspor. Salah satu fasilitas yang diberikan untuk mengerek ekspor produk industri, yaitu melalui Penugasan Khusus Ekspor (PKE).
"Kami juga concern terhadap hilirisasi dan substitusi impor, untuk menekan defisit neraca perdagangan. Langkah strategis yang telah kami jalankan, misalnya kami mengidentifikasi komoditas-komoditas yang bisa kita batasi atau bahkan tutup keran ekspornya. Tujuannya adalah untuk menarik investasi di sektor tersebut, terutama dalam proses hilirisasi agar meningkatkan nilai tambah di dalam negeri," urai dia.
Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah, yang sudah berhasil melakukan hilirisasi terhadap nikel ore menjadi stainless steel. Dari kawasan terintegrasi ini mampu menyumbang nilai ekspor sebesar USD4 miliar, baik itu pengapalan produk hot rolled coil maupun cold rolled coil ke Amerika Serikat dan Tiongkok.
Di samping itu, investasi di kawasan industri Morowali terus menunjukkan peningkatan, dari 2017 sebesar USD3,4 miliar menjadi USD5 miliar sepanjang 2018. Jumlah penyerapan tenaga kerja juga terbilang besar, mencapai 30 ribu orang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News