Direktur Eksekutif Center for Energy Policy M. Kholid Syeirazi mengatakan beban sosial itu adalah pelaksanaan fungsi Public Service Obligation (PSO) berupa penyaluran harga BBM/BBG di bawah harga keekonomian, termasuk program BBM satu harga.
Pertamina, menurut Kholid, terus mengalami anomali karena pendapatannya yang terbesar dari bisnis hilir dengan margin yang kecil. Bisnis hilir sebagian bercampur dengan penugasan Pemerintah untuk mendistribusikan BBM dengan selisih harga yang ditetapkan Pemerintah.
Sebagai pelaksana PSO, Pertamina berhak mendapat kompensasi yang ditunggak dan dicatat sebagai piutang perusahaan ke Pemerintah. Nilainya secara kumulatif sejak 2017 mencapai Rp96,5 triliun.
Menurut dia hal ini membuat arus kas Pertamina bleeding dan menimbulkan kontraksi terhadap belanja modal sektor hulu. Padahal, sektor hulu adalah penyumbang laba terbesar perusahaan.
"Tetapi, karena terus digerogoti oleh rugi bisnis hilir, Pertamina sulit beranjak menjadi World Oil Class Company," kata dia, Sabtu, 29 Agustus 2020.
Gejala ini, menurut Kholid, akan terus terjadi selama konstruksi undang-undangnya ambivalen. Menurut Pasal 62 UU Migas, Pertamina tidak lagi bertanggung jawab memasok kebutuhan BBM masyarakat setelah 2005. Tetapi, Pasal 66 UU BUMN menyebutkan BUMN menanggung fungsi PSO.
"Kalau tidak boleh rugi, Pertamina jangan disuruh melaksanakan PSO. Kalau masih menanggung PSO, Pertamina tidak selalu untung. Kalau harus untung tetapi disuruh PSO, yang salah undang-undangnya," pungkas Kholid.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News