Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan infrastruktur menjadi penting karena 85 cadangan dan produksi gas bumi berada di Indonesia bagian timur dan 85 persen penggunanya berada di Indonesia bagian barat.
"Mau tidak mau infrastruktur jadi kunci," kata Komaidi dalam sebuah diskusi yang dikutip Sabtu, 17 April 2021.
Menurut Komaidi, gas di di Indonesia Timur tidak bisa dibawa begitu saja. Untuk bisa menyalurkannya, gas bumi perlu diubah jadi gas alam cair atau Liquified Natural Gas (LNG). Namun proses tersebut membutuhkan biaya tambahan sehingga harganya menjadi mahal. Pilihan kedua yakni dengan membangun infrastruktur pipa transmisi distribusi.
Untuk investasi membangun infrastruktur pipa gas tersebut, tentu harus mempertimbangkan keekonomian proyek, serta komitmen dari pembeli gas.
"Ini seperti investasi di jalan tol akan menghitung berapa yang lewat sampai investasi kembali, di gas juga begitu," tutur Komaidi.
Namun saat ini seluruh rantai bisnis gas sedang mengalami kesulitan, sebab adanya penetapan harga gas sebesar USD6 per million british thermal unit (MMBTU) membuat keuntungan badan usaha menipis bahkan merugi sehingga menyulitkan untuk berinvestasi.
"Ini akar permasalahannya bukan hanya dialami PGN, tapi seluruh mata rantai bisnis gas, saya rasa bisa mati bareng-bareng," ujar dia.
Mantan Dosen Universitas Pertamina Dian Nurul Fitria memandang, pembangunan infrastruktur gas sangat penting untuk meningkatkan ketahan energi. Namun dia menyayangkan saat ini pembangunannya belum masif.
"Memang situasi ini penting buat Indonesia karena kita pulau-pulau sehingga transmisi pipa gas sangat dibutuhkan," jelas Dian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News