Angka besaran pesangon sebesar 32 kali gaji tersebut masih serupa dengan Undang-undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Akan tetapi perubahan dalam omnibus law merinci bahwa 23 kali ditanggung oleh pemberi kerja atau pengusaha, serta sisanya ditanggung oleh pemerintah.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan bahwa pihaknya mempertanyakan kekuatan sumber dana yang digunakan pemerintah untuk menanggung kewajiban perusahaan. Ia khawatir, pasar tenaga kerja semakin bebas dan fleksibel terutama pada saat menghadapi tekanan pandemi covid-19.
"Ketika pesangon sembilan bulan ditanggung pemerintah, selain skema tidak jelas, APBN akan jebol sehingga tidak bisa dipraktekkan atau dijalankan, dengan sendirinya nilai pesangon akan turun," kata Said kepada Medcom.id, Rabu, 30 September 2020.
Menurutnya, jumlah dana pesangon pekerja yang akan ditanggung pemerintah lewat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) akan cukup besar saat kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sedang banyak bermunculan. Sedikitnya APBN yang harus disediakan untuk tenaga kerja menghadapi tekanan ekonomi yakni sebesar Rp54 triliun.
Jumlah dana tersebut, kata Said, dengan rincian sebanyak tiga juta buruh yang terancam PHK akibat resesi. Kemudian dikalikan rata-rata upah nasional sebesar Rp2 juta sebanyak sembilan bulan.
"APBN harus menyediakan sebesar Rp54 triliun, jebol APBN dan tidak masuk akal keputusan Panja ini, dibuat aturan tapi untuk tidak bisa dilaksanakan di lapangan," ungkapnya.
Siad menuturkan bahwa skema pesangon agar tetap sesuai Undang-undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan tanpa ada patungan dari pemerintah. Perubahan yang perlu dilakukan, kata dia, penegakan hukum agar implementasi pembayaran pesangon dalam UU tersebut telah sesuai.
"Dalam praktiknya sangat jarang buruh mendapat pesangon sebesar 32 bulan upah. Seringkali hanya satu kali ketentuan atau 16 bulan upah, bahkan bisa lebih kurang dari itu. Hal ini disebabkan lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News