"Tren ekspor yang sempat mengerut sejak dihantam pandemi mulai kembali berbalik di Juni, dan terus tumbuh secara bulanan hingga September meski sempat diselingi penurunan tipis di Agustus," jelas Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi, dikutip dari Mediaindonesia.com, Rabu, 21 Oktober 2020.
Menurut dia tren impor barang modal dan penjualan semen juga selaras dengan Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU). Ini mulai menunjukkan tren perbaikan, serta mulai menanjaknya data sentimen positif dari lebih dari 10 juta data poin yang dikelolanya.
Menggeliatnya industri dan perdagangan
Direktur Eksekutif Next Policy ini menambahkan, prestasi yang paling tampak, dari setahun pertama kabinet Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin ialah menggeliatnya industri dan juga perdagangan. Hal tersebut menjadi sesuatu yang selama ini menjadi momok bagi perekonomian Indonesia."Sebagaimana penelitian dari Nurunnisa dan Hastiadi (2018), rupiah yang seperti terus-menerus dirongrong depresiasi ialah ganjaran dari buruknya kinerja ekspor di periode pertama kabinet Jokowi," tambahnya.
Padahal, untuk bisa keluar dari jebakan pendapatan menengah, pertumbuhan ekonomi harus berada dalam rentang enam persen hingga 6,5 persen, hingga 2030 nanti. Ini hanya bisa terjadi jika pertumbuhan ekspor tahunan bisa berada di level sekitar sembilan persen.
Tren ini sepertinya akan bisa terus berlanjut mengingat adanya efek relokasi (relocation effect) selama pandemi. Selama beberapa bulan terakhir, ekspor Indonesia ke Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa konsisten naik.
Dia menuturkan hal ini terjadi karena negara-negara tersebut ingin menjadikan ASEAN sebagai hub produksi baru, dengan Indonesia ialah salah satu yang juga cukup dilirik.
"Efek relokasi inilah yang seirama dengan pidato Jokowi pada 16 Agustus lalu, yaitu Indonesia justru bisa membajak pandemi untuk kepentingan bangsa. Peluangnya ada meski tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News