Presiden Konfederasi Sarbumusi, Irham Ali Saifuddin, mengatakan usulan ini bertujuan memperluas akses perlindungan sosial ketenagakerjaan bagi kelompok pekerja informal, perempuan, dan penyandang disabilitas yang selama ini belum banyak terjangkau program jaminan sosial. Aspirasi ini sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, khususnya soal peningkatan lapangan kerja bermartabat dan perlindungan sosial menyeluruh bagi seluruh pekerja Indonesia.
“Kondisi ketenagakerjaan kita sedang rapuh di tengah lesunya ekonomi riil. Saat ini, kepesertaan pekerja informal di BPJS Ketenagakerjaan baru 1,5 persen dari total pekerja informal. Ini sangat memprihatinkan dan perlu intervensi khusus dari pemerintah,” ujar Irham.
Menurut perhitungan Sarbumusi, pemerintah hanya perlu mengalokasikan sekitar Rp6 triliun per tahun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membiayai perluasan program ini, dengan cakupan dua manfaat dasar BPJS Ketenagakerjaan, yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).
“Nilai ini relatif kecil dibandingkan manfaat sosial dan ekonomi yang dihasilkan, yakni mencegah jutaan pekerja rentan jatuh lebih dalam ke jurang kemiskinan,” tambah Irham.
Deputi Kepesertaan Korporasi dan Institusi BPJS Ketenagakerjaan, Hendra Nopriansyah, menegaskan lembaganya berkomitmen mewujudkan universal coverage jamsostek bagi seluruh pekerja Indonesia, termasuk mereka yang berada di sektor informal seperti petani, nelayan, pekerja rumah tangga, sopir, ojek online, tenaga kerja bongkar muat (TKBM), dan pekerja migran.
“Kami tengah memperkuat model ekosistem pekerja informal berbasis komunitas dan inovasi digital agar mereka dapat terdaftar tanpa hambatan administratif maupun finansial,” ujar Hendra.
Selain itu, BPJS Ketenagakerjaan juga memperkuat kerja sama lintas pemangku kepentingan, pemerintah, dunia usaha, dan serikat pekerja, guna mempercepat perluasan kepesertaan jaminan sosial.
“Universal coverage hanya bisa tercapai dengan kolaborasi. Pemerintah memperkuat regulasi dan integrasi data, pengusaha memastikan kepatuhan, dan serikat pekerja berperan dalam edukasi dan advokasi,” kata Hendra.
Minim Perlindungan
Sementara itu, Djoko Wahyudi dari Federasi Serikat Pekerja Panasonic Gobel (FSPPG) Sarbumusi menilai afirmasi terhadap pekerja informal menjadi agenda mendesak.Berdasarkan data terbaru, dari total 61 juta pekerja informal, baru sekitar 8,6 juta orang (14,08 persen) yang terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
“Masih terlalu banyak pekerja informal, seperti pekerja rumah tangga, sopir, tenaga bongkar muat, dan pekerja migran, yang belum terlindungi. Padahal, mereka rentan terhadap risiko kecelakaan kerja, kematian, dan hari tua,” ujar Djoko.
Ia mengusulkan agar skema iuran bagi pekerja informal dibuat lebih fleksibel dan terjangkau, misalnya dengan opsi pembayaran harian, mingguan, atau berbasis proyek.
"Rendahnya jangkauan BPJS Ketenagakerjaan di sektor informal ini memerlukan kerjasama semua pihak untuk menanganinya. Pemerintah bisa mengalokasikan anggaran tambahan untuk jamsos pekerja informal, termasuk pemerintah daerah. Demikian juga, pihak korporasi juga bisa berkontribusi dengan mengalokasikan CSR mereka untuk stimulus iuran BPJS Ketenagakerjaan. Ini tentu lebih konstruktif dan bermanfaat," kata Djoko
Praktisi ketenagakerjaan Masykur Isnan menambahkan, optimalisasi kebijakan publik di bidang jaminan sosial ketenagakerjaan harus diimbangi dengan sumber daya manusia yang kompeten serta pemahaman yang kuat terhadap kondisi di lapangan.
“Kebijakan yang baik harus didukung SDM yang memahami realitas di lapangan dan memiliki akses lintas pemangku kepentingan agar pelaksanaan program BPJS Ketenagakerjaan benar-benar efektif,” ujar Isnan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id