Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Hoesen mengatakan crowdfunding merupakan kegiatan patungan atau urunan dalam bentuk dana dengan tujuan membantu saudara, kerabat, atau sahabat yang sedang membutuhkan bantuan.
"Jadi secara filosofis, kegiatan crowdfunding itu merupakan budaya asli orang Indonesia, yaitu budaya gotong royong yang bertujuan untuk membantu sesama," ujar Hoesen dalam Webinar Securities Crowdfunding, Selasa, 3 Agustus 2021.
Lebih lanjut Hoesen menjelaskan bahwa budaya ini selanjutnya diserap dan kemudian diimplementasikan ke dalam bentuk aktivitas bisnis di pasar modal melalui konsep penawaran efek.
"Mekanismenya tidak dilakukan dengan bertatap muka ataupun kontak fisik, melainkan melalui sebuah aplikasi/platform digital yang sering kita sebut dengan istilah financial technology securities crowdfunding," ungkapnya.
Pada awalnya, kegiatan fintech crowdfunding ini diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 37 Tahun 2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi atau Equity Crowdfunding/ECF.
Namun setelah dievaluasi, kegiatan ECF ternyata masih memiliki banyak keterbatasan. Di antaranya jenis pelaku usaha harus berbadan hukum PT dan jenis efek yang dapat ditawarkan hanya berupa saham.
Hingga akhir Desember 2020, jumlah penerbit/pelaku UMKM yang memanfaatkan Equity Crowd Funding (ECF) dari empat penyelenggara, baru mencapai 129 penerbit (perusahaan) dengan jumlah dana yang dihimpun mencapai Rp191,2 miliar.
"Jika dibandingkan dengan total jumlah UMKM yang ada di Indonesia, yang menurut data Kemenkop UKM tahun 2018 telah mencapai 64 juta pelaku usaha, jumlah penerbit tersebut masih terbilang sangat sedikit," jelas Hoesen.
Berkaca dari evaluasi yang telah dilakukan, khususnya terkait dukungan OJK terhadap UMKM, OJK memutuskan untuk mencabut POJK Nomor 37 Tahun 2018 dan menggantinya dengan POJK Nomor 57 Tahun 2020 tentang Securities Crowdfunding.
Menurutnya, perubahan ketentuan ini bertujuan untuk memperluas jenis pelaku usaha yang dapat terlibat, dari sebelumnya hanya berbadan hukum PT, namun sekarang juga meliputi badan usaha seperti CV, Firma, dan Koperasi.
Selain itu, POJK 57 tersebut juga dinilai mampu memperluas jenis efek. Dari sebelumnya hanya berupa saham, namun sekarang diperluas dengan memasukkan efek berupa obligasi dan sukuk.
"Di samping memberikan kemudahan dari sisi penerbit (UMKM), kebijakan ini juga diharapkan dapat memberikan kesempatan luas bagi para investor ritel, khususnya yang berdomisili di daerah kedudukan UMKM yang menerbitkan securities crowdfunding untuk turut berkontribusi untuk pengembangan ekonomi di daerahnya masing-masing," pungkas Hoesen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News