Kelapa Sawit. Foto : MI/Gino Hadi.
Kelapa Sawit. Foto : MI/Gino Hadi.

Pemerintah Diminta Lindungi Komoditas Strategis dari Intervensi Asing

Eko Nordiansyah • 23 November 2022 22:38
Jakarta: Pertumbuhan ekonomi nasional tidak bisa lepas dari sejumlah komoditas strategis, dengan petani sebagai garda terdepannya. Sayang, banyak gerakan kampanye negatif dan intervensi lembaga asing terhadap komoditas tersebut.
 
Ketua DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengatakan, pemerintah seharusnya bisa melindungi komoditas strategis ini. Meski tidak secara langsung, aksi kampanye negatif terhadap komoditas sawit turut memengaruhi serapan panen petani. 
 
"Kampanye negatif terhadap sawit itu mengakibatkan citra minyak kelapa sawit mentah/crude palm oil (CPO) negatif di mata dunia. Itu kan bisa bikin negara lain membatalkan pesanan, dan akhirnya penyerapan pabrik dari petani juga pasti akan berkurang," ujar Gulat kepada wartawan, Rabu, 23 November 2022. 

Gulat menambahkan, sejatinya aksi kampanye negatif ini memiliki motif perdagangan internasional. Menurutnya terdapat pihak yang ingin merebut pasar minyak sawit Indonesia mengingat Indonesia menguasai 52 persen pasar minyak sawit dunia
 
"Tekanan terhadap industri sawit, pasti akan berdampak pada kesejahteraan petani, sebab di Indonesia mayoritas perkebunan sawit dimiliki oleh petani swadaya," ungkapnya.
 
Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Pertanian, jumlah petani sawit di Indonesia mencapai 2,74 juta kepala keluarga. Sementara kontribusinya mencapai 13,50 persen terhadap kinerja ekspor nonmigas, dengan sebanyak 34,2 juta ton sawit pada 2021. 
 
"Serapan dari industri selama tiga bulan terakhir sudah bagus karena ekspor sudah kembali normal. Artinya stok dalam negeri dengan serapan untuk ekspor sudah berada pada titik normal. Akibatnya tentu serapan TBS petani kan bagus," kata dia.
 
Serupa dengan dengan petani sawit, petani tembakau juga kerap dihantui oleh kampanye negatif. Padahal sektor ini juga tak kalah besar kontribusinya terhadap perekonomian nasional. Indonesia merupakan produsen tembakau terbesar keempat di dunia. 
 
Tembakau juga menyumbang pendapatan yang tinggi berupa cukai hasil tembakau (CHT) yang pada tahun lalu tercatat senilai Rp188,81 triliun. Angka ini menjadikan CHT menyumbang sebesar 96,52 persen terhadap total penerimaan cukai.
 
"Kampanye negatif soal tembakau akan mempengaruhi kebijakan pemerintah sehingga menjadi tidak adil bagi petani. Tujuan kampanye negatif mereka adalah agar pemerintah membuat kebijakan yang berpotensi mematikan pertanian tembakau," ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Agus Parmuji.
 
Agus mencontohkan kebijakan di sektor tembakau turut didorong oleh sejumlah pihak mengatasnamakan kesehatan yang disokong oleh lembaga asing. Misalnya kenaikan cukai tinggi yang justru mengancam serapan tembakau petani dan menyebabkan maraknya rokok illegal.
 
"Yang berkedok kesehatan berusaha untuk menghentikan aktivitas tembakau dari hulu ke hilir dengan mempengaruhi kebijakan pusat. Padahal sebenarnya tujuan lembaga asing adalah menguasai nikotin di Indonesia," tegas Agus.
 
Baca juga: Sri Mulyani Terus Waspadai Risiko Pelemahan Pertumbuhan Ekonomi di 2023

 
Upaya kampanye negatif ditambah intervensi kebijakan sejatinya tak hanya menekan para petani, melainkan juga mengeliminasi kedaulatan negara. Apalagi jika aksi-aksi tersebut justru dilatarbelakangi oleh motif-motif ekonomi yang seharus dilakukan dengan adil dan proporsional.
 
Presiden Joko Widodo sebelumnya meminta agar setiap negara diberikan kesempatan untuk melakukan hilirisasi. Hal ini disampaikan menyikapi perlakuan WTO terhadap negara-negara berkembang yang tengah berupaya melakukan berbagai hilirisasi komoditas strategisnya.
 
"Setiap negara harus diberikan kesempatan untuk melakukan industrialisasi agar nilai tambahnya dapat membantu perekonomian dan kesejahteraan negara tersebut dan ujungnya pertumbuhan ekonomi global bersama," kata dia dalam KTT APEC di Thailand, Minggu, 20 November 2022.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan