Rencana pemerintah untuk merevisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan saja sudah akan semakin menekan keberadaan IHT, karena bakal berimbas pada kehilangan pekerjaan pada jutaan masyarakat di IHT. Selain itu, kontribusinya terhadap ekonomi nasional juga ditaksir dapat terkikis.
Dari catatan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), saat ini ada lebih dari 446 regulasi yang mengatur IHT mulai dari level pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Dari total regulasi tersebut, hampir 90 persen atau setara 400 regulasi mengatur pembatasan konsumsi alias tobacco control dan hanya ada lima regulasi yang mengatur ekonomi dan kesejahteraan.
"Dari banyaknya regulasi soal tembakau tersebut, hampir tidak ada yang melindungi keberlangsungan IHT, sebaliknya justru bersifat menekan produksi dan konsumsi tembakau yang legal. Sehingga jelas sekali terlihat hegemoni rezim kesehatan yang kuat memengaruhi kebijakan IHT di Indonesia," ungkap Ketua Umum GAPPRI Henry Najoan dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 21 Februari 2023.
Oleh karena itu, Henry menilai rencana pemerintah untuk melakukan revisi PP 109/2012 justru bakal menambah daftar panjang yang mengebiri pertumbuhan industri tembakau. Sebab, rencana revisi yang tertuang pada Keputusan Presiden Nomor 25/2022 lebih menitikberatkan aspek pelarangan total terhadap industri tembakau, alih-alih mengendalikan.
"Selain padat aturan, IHT ini juga merupakan industri yang padat karya. Ada sekitar 5,98 juta pekerja pada rantai pasok IHT, dengan lebih dari 230 ribu pekerja langsung pada pabrik rokok. Rencana revisi PP 109/2012 akan berdampak negatif bagi IHT," sambungnya.
Berhasil tekan jumlah perokok anak
Di kesempatan yang sama, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) Benny Wachyudi menambahkan padatnya regulasi terhadap IHT selama ini nyatanya telah terbukti berhasil meraih tujuannya. Misalnya dari berkurangnya prevalensi merokok anak selama beberapa tahun terakhir.
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa prevalensi perokok anak umur di bawah 18 tahun telah turun dalam lima tahun terakhir hingga menjadi 3,44 persen pada 2022, dari angka 3,87 persen pada 2019. Oleh karenanya, menurut Benny, PP 109/2012 saat ini tidak mendesak untuk direvisi.
"Sebaiknya pemerintah melakukan evaluasi komprehensif dengan indikator yang akurat baik di tingkat nasional maupun daerah, sebelum memutuskan untuk melakukan revisi PP 109/2012. Indikator dan justifikasi revisi regulasi yang saat ini didorong oleh Kementerian Kesehatan perlu ditinjau ulang," ungkapnya.
Baca juga: Waduh, Revisi PP 109/2012 Ancam Banyak Pabrik Rokok Gulung Tikar |
Peran IHT ke ekonomi semakin terkikis
Jika dipaksakan, maka dampaknya terhadap pertumbuhan IHT bakal makin negatif. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Tauhid menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, IHT sudah tertekan. Terbukti dengan harga jual rokok yang semakin mahal dan telah memangkas konsumsi dalam beberapa tahun terakhir.
"Peran industri pengolahan tembakau dalam perekonomian semakin turun dari 0,85 persen pada kuartal I-2018 menjadi 0,67 persen pada kuartal IV-2022. Pemerintah perlu mempertimbangkan dampak dan efektivitasnya bagi IHT, termasuk penerimaan tenaga kerja, dan petani dalam mengambil kebijakan revisi PP 109/2012," jelas Tauhid.
Ia pun merekomendasikan perlunya dirumus formula baku yang mengedepankan keseimbangan, yaitu dengan tetap memperhatikan dimensi pengendalian, ketenagakerjaan, penerimaan negara, dan petani tembakau.
*Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id*
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News