Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Moeldoko. Foto: MI/Rommy Pujianto
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Moeldoko. Foto: MI/Rommy Pujianto

Moeldoko: Pertanian Indonesia Masih Hadapi 5 Persoalan Utama

Annisa ayu artanti • 25 Mei 2021 12:22
Jakarta: Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Moeldoko membeberkan terdapat lima persoalan yang masih dihadapi oleh pertanian Indonesia.
 
"Pertama persoalan tanah. Tanah kita itu sempit, khususnya di Jawa. Ini memang ada kondisi paradoks, di Jawa tanah sempit penduduk banyak, di luar Jawa lahan luas penduduk sedikit," kata Moeldoko dalam acara Indonesia Food Summit 2021, Selasa, 25 Mei 2021.
 
Ia menjelaskan, kondisi luasan tanah pertanian tersebut sesuai dengan survei pertanian antarsensus. Kondisi itu dinilai telah mempersulit kinerja petani nasional.

Kemudian, tak hanya luasan tanah yang menjadi persoalan dalam pertanian tetapi kebanyakan tanah pertanian juga telah rusak. Ia mengatakan, penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan telah merusak tanah di masa depan.
 
"Tanah di Jawa sudah sempit, rusak lagi tanahnya. Karena penggunaan pupuk dan pestisida berlebihan, uncontrol. Tidak menghiraukan bagaimana nasib tanah ke depan," ungkapnya.
 
Lalu persoalan kedua adalah mengenai permodalan. Moeldoko menyebutkan hingga saat ini petani tidak menyerap maksimal Kredit Usaha Rakyat (KUR) petani yang telah disiapkan pemerintah dikarenakan kebanyakan petani unbankable.
 
"Pemerintah telah siapkan KUR. KUR yang disiapkan itu Rp50 triliun lebih tapi daya serapnya tidak seperti yang dibayangkan karena masyarakat kita tidak bankable," ujarnya.
 
Persoalan ketiga terkait teknologi. Ia juga mengaku petani Indonesia juga kurang bisa menyerap dan memanfaatkan teknologi yang terus berkembang pesat, sehingga kerap kali petani selalu tertinggal.
 
Selanjutnya persoalan manajerial. Moeldoko menambahkan, petani Indonesia terbiasa tidak me-manage sesuatu termasuk dalam bisnis pertanian. Hal itu membuat hasil pertanian tidak optimal.
 
"Sehingga pertanian tidak mengerti berapa itu modal yang harus dikeluarkan hitungan hitungan seberapa. Jadi tidak terhitung dengan baik. Bagaimana cara manage memupuknya tanggal berapa, jam berapa, tidak seperti itu. Tidak memiliki SOP rigid," ujarnya.
 
Terakhir, mengenai persoalan pasca panen yaitu losses yang sering terjadi pada setiap panen. Ia menyebutkan losses saat panen yang biasa terjadi bisa mencapai 10 persen. Losses, menurutnya, dipicu oleh penggunaan alat yang belum modern.
 
"Kita tidak sadar ada loss-nya itu 10 persen. Dengan cara modernisasi menggunakan alat harvester itu menjadi menyusut 3-4 persen itu loss," imbuhnya.
 
Moeldoko kembali menambahkan, di masa panen persoalan yang kerap terjadi adalah persoalan harga. Petani sering teriak karena harga yang ditetapkan terlalu rendah. Pemerintah mengatakan harga tersebut bergantung pada pasar yakni suplai dan demand.
 
"Persoalan harga, kita sering teriak harga tetap pasar yang mengatakan menentukan antara suplai-demand. Dalam konteks ini saya sebagai ketua HKTI perlu mengkritisi kepada pemerintah Mendag karena mengeluarkan harga eceran beras medium dan premium. Petani saya menyubsidi orang kaya," pungkasnya.
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEV)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan