Ilustrasi. Foto: Medcom.id
Ilustrasi. Foto: Medcom.id

Ini Solusi Kebijakan Tembakau Indonesia dari Pemerhati hingga Pelaku Industri

Husen Miftahudin • 20 Januari 2023 19:39
Jakarta: Para pemerhati dan pelaku industri hasil tembakau (IHT) sepakat bahwa revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan bukan menjadi solusi yang tepat dalam menangani permasalahan pertembakauan di Indonesia.
 
Kesepakatan ini ditujukan untuk meninjau dan menanggapi poin revisi PP 109/2012 yang diusulkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 yang terbit pada Desember lalu.
 
Adapun pemerhati dan pelaku IHT tersebut terdiri dari Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Daerah Istimewa Yogyakarta (PD FSP RTMM-SPSI DIY), Pengurus Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (RTMM SPSI), perwakilan Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK), Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Pakta Konsumen, akademisi, hingga pengamat kebijakan.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Ketua Umum Pakta Konsumen Ari Fatanen menyatakan, substansi PP 109/2012 sudah cukup untuk mengatasi permasalahan terkait rokok. Hanya saja, masih lemah dalam praktiknya di lapangan.
 
"PP 109/2012 sudah melarang keterlibatan anak-anak di bawah 18 tahun dalam aktivitas jual-beli hingga promosi rokok. Makanya bahwa prevalensi perokok itu dikaitkan dengan merevisi PP 109/2012, menurut saya hari ini yang dilakukan pemerintah tidak fair," tukas dia dikutip dari keterangan tertulis, Jumat, 20 Januari 2023.
 
Dia melanjutkan, revisi PP 109/2012 tidak akan mengubah apapun apabila pemerintah tidak memberikan hak partisipasi bagi konsumen dalam perumusan kebijakan dan mendorong keterlibatan konsumen dalam gerakan penyuluhan rokok bersama bagi nonperokok, termasuk anak di bawah umur.
 
"Pemerintah perlu merangkul semua pemangku kepentingan terkait, untuk melakukan pendekatan persuasif melalui gerakan bersama dalam upaya mencegah perokok anak," tegasnya.
 
Sementara itu, Dosen Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta Arif Kurniar Rahman sebagai perwakilan akademisi menyampaikan permasalahan terbesar dari peraturan tembakau saat ini adalah pemisahan konteks legal hukum dalam proses penyusunan regulasi dengan aspek sosio-kultural yang ada dalam masyarakat. Menurutnya, pemerintah terlalu berkutat pada pola pikir kesehatan tanpa membayangkan relasinya dengan sektor lain, seperti kesejahteraan.
 
Baca juga: Sudah Komprehensif, Asosiasi Pekerja hingga Konsumen Tolak Revisi PP 109/2012

 
Untuk mendorong perumusan dan pemberlakuan aturan yang ideal, Arif mendorong terciptanya ruang diskusi. "Kita perlu melakukan advokasi politik untuk (menciptakan) daya tawar (tembakau) sebagai isu perkebunan (seperti sawit). Yang tidak kalah penting, diskusi intelektual perlu juga didorong," usul dia.
 
Dalam kesempatan yang sama, peneliti sekaligus pemerhati kebijakan Agustinus Moruk Taek juga menyampaikan hasil telaah kebijakan dari PP 109/2012 berdasarkan analisis teks kebijakan, konteks politik, dan kontekstualisasi peraturan.
 
Hasil telaah ini menunjukkan tidak adanya urgensi untuk melakukan revisi PP 109/2012 karena lemahnya data dan justifikasi revisi PP 109/2012 yang parsial atau sepihak. Di samping itu, terdapat indikasi kegagalan implementasi peraturan daerah turunan PP 109/2012 yang disusun tanpa analisis kebutuhan masyarakat lokal, serta masih lemahnya sosialisasi dan pengawasan terhadap publik.
 
"Kebijakan yang sudah ada saat ini untuk industri tembakau nasional, yaitu PP 109/2012, sudah komprehensif. Aturan ini sudah mengcover seluruh aspek terkait, termasuk larangan akses untuk anak-anak di bawah 18 tahun. Revisi bukan solusi. Yang dibutuhkan sekarang adalah sosialisasi dan penegakannya. Semuanya harus dilaksanakan berlandaskan semangat gotong royong untuk mencapai target bersama," tegas Agustinus.
 
"Alih-alih menjadi solusi, revisi tersebut justru berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi dan sosial karena akan menjadi tekanan baru bagi seluruh mata rantai industri," tambahnya.
 
*Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id*
 
(HUS)



LEAVE A COMMENT
LOADING

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif