Erick mengatakan untuk menuju target tersebut, PLN berupaya mengurangi pembangkit fosil terutama Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan menggantinya dengan pembangkit energi baru terbarukan (EBT).
"Penggunaan batu bara terbanyak salah satunya di PLN sebagai pembangkit listrik," kata Erick dalam acara Media Group News Summit Series bertajuk Indonesia Green Summit 2021, Selasa, 27 Juli 2021.
Usai 2025, pemerintah bahkan telah melarang pembangunan PLTU baru, kecuali yang telah masuk masa konstruksi atau telah menandatangani kontrak jual beli listrik (PPA). Hal ini pun sejalan dengan peta jalan yang telah dibuat.
Ia mengatakan dalam peta jalan yang telah dibuat, 19 tahun pertama menuju 2060 sejak 2025 PLN akan mengganti pembangkit fosilnya dengan kapasitas 21 gigawatt (GW). Kemudian 15 tahun selanjutnya yakni sebesar 29 GW.
"Jadi kalau dengan target 2060 mestinya double untuk transformasi dari pada kelistrikan yang ada di Indonesia untuk jadi EBT apakah melalui geothermal, hidro, solar panel dan angin. Ini harus kita pastikan sesuai peta jalan yang kita inginkan sama-sama," tutur dia.
Sementara itu BUMN batu bara, kata Erick, tidak lantas mati dengan adanya transisi ke EBT. Ia bilang banyak turunan dari batu bara yang bisa dilakukan salah satunya untuk substitusi atau pengganti LPG melalui dimethyl ether (DME).
Selain itu batu bara bisa dijadikan petrokimia dan turunannya, misalnya menjadi bahan baku obat-obatan yang selama ini 90 persennya diimpor. Termasuk juga untuk industri tekstil.
"Jadi transformasi yang ada saya rasa kita harus lakukan dengan segala cara," ujar dia.
Adapun untuk perbankan pelat merah, lanjut Erick, dipastikan juga ikut andil untuk membiayai proyek-proyek hijau dan ramah lingkungan. Namun, kata Erick, harus mempertimbangkan market dan tanpa mengesampingkan peningkatan ekonomi masyarakat.
"Jadi jelas Himbara sangat mendukung tetapi kasus kehidupan kepada masyarakat dan rakyat secara ekonomi harus dalam keadaan yang baik," jelas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News