Untuk mempercepat langkah pemerintah dalam melakukan digitalisasi bansos, ada tiga aspek yang harus menjadi perhatian pemerintah yaitu perbaikan regulasi, perbaikan tata kelola penyaluran melalui digitalisasi (platform), dan tantangan pengelolaan data dalam penyaluran bansos.
Ketua IFSoc Mirza Adityaswara berpandangan bahwa Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Secara Non Tunai perlu dikaji ulang dan direvisi dengan tambahan alternatif penyaluran bansos sebagai antisipasi perkembangan teknologi serta kebutuhan masyarakat penerima manfaat.
"Digitalisasi bansos ini memerlukan adanya evaluasi dan perumusan kebijakan yang mendukung. Saat ini infrastruktur yang disediakan oleh pemerintah menurut kami masih belum terintegrasi sehingga perlu mengedepankan prinsip omnichannel," ujar Mirza dalam press briefing virtual IFSoc, Selasa, 9 Maret 2021.
Menurut Mirza, untuk memulai proses digitalisasi bansos harus ada evaluasi dan perumusan kebijakan yang mendukung. Dalam hal ini, perlu mengedepankan prinsip shared infrastructure dan omnichannel.
"Kondisi dunia saat ini sedang terpacu untuk menerapkan teknologi digital di berbagai bidang. Di Indonesia sendiri platform digital untuk bansos sudah siap, tergantung kemauan dan payung hukum yang sayangnya saat ini masih mempersempit ruang digital yang bisa dijalankan," papar Mirza.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) sekaligus anggota Steering Committee IFSoc Hendri Saparini menjelaskan digitalisasi bansos tidak untuk menggantikan penyaluran bansos melalui channel perbankan, melainkan sebagai alternatif tambahan untuk saling melengkapi.
"Digitalisasi bansos dapat menghilangkan middlemen issue, inefisiensi, dan berbagai distorsi yang selama ini terjadi, melalui pemanfaatan teknologi. Pemerintah perlu memiliki sebuah platform tersentral dan terintegrasi yang dibangun secara gotong-royong oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan fintech," tegas dia.
Hendri bilang, bansos dengan menggunakan kartu saat ini ada batasannya lantaran harus menyiapkan kartu dan mesin electronic data capture (EDC) yang cukup memakan banyak biaya. Oleh karena itu, opsi distribusi bansos tanpa kartu atau cardless dengan menggunakan telepon seluler menjadi salah satu alternatif, misal menggunakan pesan singkat.
"Lebih jauh, data transaksi para penerima bansos pun dapat digunakan sebagai credit scoring dalam pengajuan kredit produktif. Dengan begitu maka digitalisasi bansos akan menjamin aspek governance, meningkatkan transparansi, efisiensi waktu, serta biaya," ucapnya.
Dalam hal ini, lenjut Hendri, pemerintah tidak perlu membangun sistem baru untuk digitalisasi bansos, namun dapat bersinergi dengan mengoptimalkan infrastruktur setiap kementerian dan lembaga sehingga lebih efisien dan menghapus jarak (gap) yang ada saat ini.
Pemerintah juga dapat mereplikasi platform kartu Prakerja yang telah berhasil menghilangkan middlemen issue (perantara), inefisiensi, dan distorsi lainnya. Program Prakerja juga dianggap telah membawa dampak positif seperti mendorong masyarakat untuk memiliki rekening bank ataupun dompet digital, kecepatan dan ketepatan distribusi insentif di hari yang sama, dan dapat menghindari kerumunan saat distribusi bantuan.
Sebelum memulai digitalisasi bansos, Ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia yang juga Steering Committee IFSoc Yose Rizal Damuri menyarankan pemerintah untuk membangun Pusat Informasi Data Bansos sebagai upaya membenahi data bansos dan memperbaiki Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Pembaruan DTKS dapat menggandeng Badan Pusat Statistik (BPS), pemerintah daerah (pemda), dan universitas untuk mengumpulkan data di masa mendatang. Pembaruan DTKS dapat juga diberikan opsi untuk pendaftaran mandiri (self-registration) yang kemudian diverifikasi oleh pemda.
Yose juga mendukung upaya Kementerian Sosial yang saat ini sedang mengembangkan Sistem Aplikasi Data Perbelanjaan (SADAP) berbasis barcode, untuk melihat data realisasi program sembako secara real time, akuntabel, transparan, dan konsisten. Oleh karena itu, pemerintah harus mengeksplorasi pemanfaatan skema dan teknologi e-voucher dan e-kupon yang saat ini sudah digunakan di fintech.
"Negara-negara mulai mendorong inklusi finansial dengan menggunakan teknologi, termasuk digitalisasi penyaluran bansos. Untuk itu, IFSoc berpandangan saat ini pemerintah harus membuka pintu dengan melihat fintech sebagai alternatif tambahan penyaluran bansos. Untuk tahap awal, pemerintah dapat memanfaatkan sandbox sebagai ruang uji coba digitalisasi penyaluran bansos, termasuk kerja sama antara bank dan fintech," pungkas Yose.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News