Pasalnya, revisi aturan tersebut mengubah rasio ekspor-impor listrik yang berasal dari PLTS Atap dari 65 persen menjadi 100 persen. Artinya apabila dalam aturan sebelumnya penggunaan PLTS Atap yang menitipkan pasokan listrik di jaringan PLN hanya bisa menggunakan 65 persen dari pasokan yang dititipkan, maka dalam aturan anyar pengguna PLTS Atap bisa menggunakan 100 persen yang dititipkan di jaringan PLN. Padahal ada komponen biaya yang harus ditanggung PLN untuk mengelola pasokan tersebut.
“Kalau (dimasukkan) di jaringan PLN harus bayar. Padahal salah satu misi BUMN itu untuk keuntungan. Kalau yang diuntungkan sebagian, maka tidak akan berlangsung lama,” kata mantan Anggota Dewan Energi Nasional (2009-2014) Mukhtasor, dalam webinar bertema 'Roadmap Pengembangan EBT di Indonesia', Kamis, 19 Agustus 2021.
Mukhtasor mengaku telah mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri ESDM Arifin Tasrif terkait usulan untuk mencari jalan tengah dari persoalan tersebut. Ia menilai untuk memasang PLTS Atap biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan energi yang dipakai, atau dengan kata lain biaya mahal namun pemakaian sedikit. Kondisi ini bisa membuat portofolio PLN tidak bagus.
Di sisi lain, menurut Mukhtasor, jika selisih harga listrik PLTS Atap harus dibayar oleh APBN maka akan membebani negara. Namun jika asumsinya negara mampu, APBN harus dialokasikan untuk investasi Energi Baru Terbarukan (EBT). Jika pemerintah ingin memberikan kompensasi atau insentif, jangan diberikan di hilir namun di hulu.
Caranya dengan menurunkan biaya modal. Di hulu industri pemasok PLTS diberikan kompensasi, sehingga pada akhirnya harga untuk memasang PLTS Atap bisa lebih murah dan tidak membebani PLN.
Sementara itu, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Chrisnawan Aditya mengatakan regulasi yang dibuat memang tidak bisa memuaskan semua pihak, ketika timbangan lebih berat ke utility maka akan ada reaksi dari pihak lain.
Chrisnawan menjelaskan revisi tersebut bertujuan untuk meningkatkan nilai ekspor listrik PLTS Atap. Ia bilang berdasarkan survei, nilai ekspor dari PLTS Atap adalah 20 persen lalu dikalikan 100 persen. Pengguna PLTS Atap pasti akan menggunakan pasokan listrik untuk sendiri terlebih dahulu, baru sisanya diekspor.
“Apakah nanti pendapatan PLN berkurang, sudah kami lakukan kajian. Memang pendapatan PLN akan turun,” kata Chrisnawan.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence Sunarsip mengatakan, pengembangan EBT terutama PLTS Atap harus memperhitungkan kelebihan pasokan yang terjadi saat ini. Ia mengatakan saat ini kondisi pasokan listrik di Jawa dan Bali mengalami kelebihan.
Menurut Sunarsip, biasanya target pertumbuhan listrik dibuat lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Namun kenyataannya saat ini konsumsi listrik jauh di bawah pertumbuhan ekonomi. Dengan kondisi tersebut, kata dia, jangan sampai pengembangan EBT malah menambah beban untuk pelaku industri lain.
“Dan jangan sampai pengembangan massif PLTS Atap malah membebani PLN dan keuangan negara. Yang menjadi catatan bahwa sebenarnya target rencana induk energi disusun dengan asumsi yang optimistis, padahal realisasinya kita tidak pernah mengalami pertumbuhan ekonomi sampai tujuh persen,” pungkas Sunarsip.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id