"Sejak perusahaan rokok datang, membawa bibit tembakau, menawarkan model kerja sama, petani jadi untung. Yang tadinya anaknya enggak bisa sekolah jadi bisa sekolah, bisa pergi haji, bisa bangun rumah. Ini yang membuat petani senang," ujar Peneliti Lakpesdam-PBNU Semarang Mohammad Ichwan kepada wartawan, Jumat, 20 Agustus 2021.
Ia juga mengatakan bahwa jumlah petani tembakau semakin bertambah setiap tahunnya. Pada 2019, ada peningkatan jumlah petani di Rembang secara signifikan menjadi 4.500 petani dari 2.000 petani pada 2016. Jumlah ini belum termasuk pekerja yang bagian memetik, mengangkut, dan lain-lain.
"Sistem ini pun berpengaruh terhadap pemasukan negara dari produk tembakau yang grafiknya selalu meningkat setiap tahun. Jadi petani tembakau ini jangan dimusuhi. Tembakau membuat rakyat sejahtera, harusnya dikembangkan," ungkapnya.
Namun sayang masih banyak pihak yang beranggapan bahwa mata rantai pertanian tembakau berdiri sendiri dan tidak dipengaruhi oleh berbagai regulasi yang mengatur industri hilirnya. Padahal hasil kajian yang dilakukan oleh Lakpesdam-PBNU justru menunjukkan sebaliknya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sejak akhir 2020, Lakpesdam-PBNU menolak rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan karena dinilai merugikan petani tembakau.
Ia menjelaskan wacana revisi PP 109/2012 ini hanya dilihat dari perspektif kesehatan tanpa memperhatikan kesejahteraan ekonomi petani tembakau. Padahal menurutnya, ada produk-produk lainnya yang juga memiliki risiko kesehatan dibandingkan rokok.
"Statistik yang meninggal karena makanan manis dan berlemak lebih banyak dibandingkan rokok, tapi pemerintah tidak pernah menunjukan itu. Harusnya berpikir secara adil dan tidak digeneralisasi," jelas Ichwan.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Rembang Sutiyo sebelumnya juga menyampaikan hal serupa. Menurutnya, revisi PP 109/2012 jelas akan semakin memberatkan petani karena posisinya yang berada di ujung mata rantai industri hasil tembakau tersebut.
"Petani condong ke penolakan. Ketika regulasi ini keluar dan industri bereaksi dengan regulasi itu, maka yang paling ujung dan merasakan tekanannya itu petani. Petani ini di bagian bawah, selalu kena imbas," ungkap Sutiyo.
Sutiyo mencontohkan beberapa waktu lalu ada isu kenaikan cukai yang langsung berimbas ke para petani. Padahal tembakau memiliki dampak yang luar biasa untuk wilayah Rembang, karena berdampak terhadap ketenagakerjaan yang proses produksinya memerlukan banyak orang.
"Di tahun lalu, Rembang jadi wilayah penyumbang cukai tertinggi ke-3 setelah Temanggung dan Kudus, dengan nilai cukainya saya dapat info itu mencapai Rp30 miliar pada tahun lalu. Itu kan besar sekali. Tidak ada sektor industri lain yang mampu menyerap tenaga kerja sebanyak IHT dari hulu ke hilir," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News