Ekonom DBS Radhika Rao mengatakan bahwa pembuat kebijakan Indonesia bersikap sangat berhati-hati dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan untuk mempertahankan selisih suku bunga menarik antara imbal hasil obligasi dalam negeri dan imbal hasil obligasi AS untuk menarik investor asing, seraya menjaga kondisi untuk mendukung pertumbuhan.
"Meskipun rupiah terapresiasi hampir 10 persen terhadap dolar AS sejauh ini pada triwulan kedua, otoritas tetap khawatir tentang kemungkinan arus dana keluar karena sepertiga dari utang rupiah dimiliki investor asing," kata analis DBS dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 27 Mei 2020.
Pernyataan kebijakan yang akomodatif karena bank sentral memberi tanda bahwa pertumbuhan triwulan kedua kemungkinan akan lebih lemah dari triwulan pertama.
Analisis terhadap pernyataan resmi menunjukkan bahwa bank sentral lebih memilih untuk menunggu kesempatan setelah pemotongan dini sebesar 50 bps pada triwulan pertama 2020.
Meskipun demikian, kebutuhan untuk mendukung pertumbuhan tetap menjadi prioritas, yang kemungkinan akan menjaga BI tetap di jalur pelonggaran. Pertumbuhan PDB triwulan pertama, yang diumumkan sebelumnya, menetapkan langkah awal lemah untuk 2020. Ini merupakan pertumbuhan terlemah sejak akhir 2001 dan lebih dalam dari perlambatan pasca-GFC (krisis keuangan global).
a
Meskipun kekhawatiran covid-19 hanya meningkat menjelang akhir Maret, ketika pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan langkah-langkah untuk menjaga jarak sosial (social distancing), produksi dan permintaan merosot tajam pada triwulan ini.
Dengan lebih banyak indikator ekonomi -ekspor April, penjualan ritel, kepercayaan konsumen, indeks PMI, impor barang modal dan lain-lain- cenderung lebih rendah, penurunan pada triwulan kedua 2020 kemungkinan akan lebih terasa daripada sebelumnya.
PDB
arif
DBS pun merevisi prakiraan PDB 2020 menjadi minus satu persen y/y dari 1,3 persen karena indikator ekonomi lemah dan pembatasan sosial lebih lama. Pertumbuhan akan membaik, di atas tiga persen kemungkinan terjadi pada 2021.
"Oleh karena itu, kami mendorong pemangkasan tingkat suku bunga 25 bps pada triwulan ketiga, saat angka triwulan kedua akan tersedia dan mungkin memunculkan kembali kekhawatiran atas kerugian ekonomi akibat pandemi covid-19," jelas dia.
Dia juga mengatakan bahwa BI mempertahankan komitmennya untuk menjamin surplus likuiditas. Ini terjadi saat Kementerian Keuangan menaikkan target defisit fiskal menjadi minus 6,2 persen dari PDB vs minus 5,1 persen, dan lebih dari dua kali lipat ambang minus tiga persen yang berlaku sebelumnya.
Defisit lebih tinggi ini untuk mengakomodasi lebih banyak langkah, yang terdiri atas subsidi bunga untuk UMKM, suntikan modal ke BUMN, dan lain-lain, di mana biaya paket pemulihan pandemi naik menjadi Rp642 triliun.
Paket bantuan untuk BUMN berbentuk pembayaran subsidi, dukungan modal kerja, dan lain-lain, termasuk pembayaran kepada perusahaan milik negara dan pemain energi. Peningkatan defisit anggaran ini akan didukung oleh revisi prakiraan pertumbuhan pemerintah dari 2,3 persen pada saat ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News