"Jadi ada beberapa pandangan fraksi-fraksi yang menginginkan agar pasal soal tembakau itu dicabut dari RUU Kesehatan. Ada juga pandangan yang menginginkan pengaturannya kembali ke Undang Undang Kesehatan yang ada," kata Anggota Komisi IX DPR RI, Yahya Zaini, kepada wartawan, Kamis, 8 Juni 2023.
Memang, menurutnya, pembahasan di Panitia Kerja (Panja) Komisi IX untuk RUU Kesehatan belum sampai pada Pasal 154 sampai 158 yang membahas tentang tembakau. Namun penolakannya sudah terjadi, terutama untuk Pasal 154 yang menyetarakan tembakau dengan alkohol, narkotika, dan psikotropika.
"Saya sendiri tidak setuju jika tembakau disamakan dengan narkotika, karena adiksinya kan berbeda. Kalau narkoba kan barang haram. Sedangkan tembakau kan halal dan legal," ujar Yahya.
Lebih dari itu, menurut politisi dari partai Golkar ini, kontribusi tembakau kepada perekonomian negara terbilang signifikan. Setidaknya nilainya sudah lebih dari Rp200 triliun pada 2022 melalui cukai rokok saja.
"Sekarang sudah Rp218 triliun. Itu cukainya dan diharapkan naik terus itu, sedangkan pekerja yang terlibat dalam industri rokok itu 6 juta orang, baik langsung maupun tidak langsung. Jadi posisi tembakau sangat berbeda. Sumbangsihnya kepada negara sangat besar," tegasnya.
Baca juga: Petani Minta Pasal Tembakau dalam RUU Kesehatan Dicabut |
Dari situasi itu saja menurutnya sudah tidak bisa disamakan dengan narkotika dan juga minuman beralkohol. Oleh karenanya, ia menghendaki agar pasal itu dicabut saja. Apalagi Jawa Timur adalah kontributor terbesar dalam Industri Hasil Tembakau (IHT).
"IHT di Jawa Timur itu kontribusinya 60 persen. Kalau tembakau disamakan dengan narkotika, bisa sangat merugikan. Padahal yang satunya halal, yang satunya haram. Itu tidak boleh. Yang satunya legal, yang satunya ilegal," ungkap dia.
Anggota Komisi IV DPR RI Luluk Nur Hamidah, juga turut memantau polemik RUU Kesehatan yang terjadi di masyarakat pertembakauan saat ini. Menurutnya, pasal 154 RUU ini tidak rasional, RUU ini juga diskriminatif, dan akan mengkriminalisasi para petani dan juga para perokok.
"Kan otomatis kalau ini disamakan, pasti ini juga akan sangat rawan terjadi kriminalisasi. Jadi, tidak ada kata telat untuk mengoreksi, karena sudah dibahas di komisi IX," kata dia.
Para penyusun RUU Kesehatan yang bersifat omnibus law ini disarankan lebih berhati-hati, sebab bisa memiliki dampak sosial dan ekonomi yang luas. Menurut dia, seharusnya pasal itu dicabut dan dikeluarkan dari RUU Kesehatan meski tidak menolak RUU Kesehatan secara keseluruhan.
Lebih jauh Luluk menilai, selain tidak adil, menyamaratakan tembakau dengan narkotika, dan psikotropika juga akan memunculkan kecurigaan yang luas. Ia khawatir keberadaan pasal ini juga bagian dari agenda yang ingin menghancurkan industri tembakau nasional.
"Maka akan lebih baik jika diatur terpisah dan tidak masuk dalam RUU Kesehatan. Misalnya, terkait soal cukai, ketentuan rokok, soal distribusi dan hak edar, serta boleh dijual dimana. Rokok itu dibuat aturan yang terpisah, bukan di RUU kesehatan," katanya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News