Namun, pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan tersebut dinilai dapat mengancam keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT) dalam negeri. Bahkan, kajian terkini dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyimpulkan negara akan menanggung kerugian puluhan triliun rupiah jika pasal-pasal tembakau tersebut disahkan. Sementara itu, manfaat yang hendak didapat dari aturan tersebut belum tentu dapat dicapai.
Lebih jauh, pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan juga berdampak pada sektor lain yang selama ini banyak bergantung pada industri tembakau nasional.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menyatakan, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Indef, pasal-pasal tembakau dalam RPP Kesehatan akan mematikan sektor IHT. Selain itu, banyak hal yang sangat bergantung pada sektor industri tembakau.
Hasil perhitungan dan analisis Indef menunjukkan penerapan pasal-pasal tembakau pada RPP Kesehatan akan menggerus penerimaan negara. Perlu diketahui, pemerintah sangat membutuhkan penerimaan negara, termasuk untuk membiayai program-program kesehatan yang sumber dananya berasal dari penerimaan negara.
"Jika pasal-pasal (tembakau) ini diterapkan, maka penerimaan negara akan turun. Oleh karena itu, diperlukan pertimbangan yang lebih mendalam ketika merumuskan RPP Kesehatan ini," ungkap Tauhid dikutip dari keterangan tertulis, Selasa, 26 Desember 2023.
Oleh karena itu, Tauhid merekomendasikan agar pasal-pasal tembakau untuk dikeluarkan dari RPP Kesehatan sehingga dapat dibahas secara lebih komprehensif. Dalam paparan Indef, hasil dampak ekonomi yang ditimbulkan dari pasal-pasal tembakau yang terdapat di RPP Kesehatan dihitung dengan metode pemodelan keseimbangan umum (Computable General Equilibrium) yang dilengkapi dengan data primer dan sekunder.
Pasal-pasal tersebut dihitung dampaknya terhadap ekonomi, antara lain berkaitan dengan jumlah kemasan, pemajangan produk dan pembatasan iklan. Hasil perhitungan menunjukkan pertumbuhan ekonomi akan turun sebesar 0,53 persen jika pasal-pasal tembakau tersebut diberlakukan.
Dari sisi penerimaan negara, Indef juga berkesimpulan penerapan pasal tembakau pada RPP Kesehatan akan menyebabkan penurunan penerimaan perpajakan hingga Rp52,08 triliun. Indef melakukan perbandingan antara biaya kesehatan yang ditimbulkan dari industri tembakau dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh pasal-pasal tersebut.
Hasil perhitungan Indef menunjukkan kerugian ekonomi secara agregat yang akan ditanggung oleh negara akibat pasal tembakau di RPP Kesehatan ini sebesar Rp103,08 triliun. Sementara, pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan akibat konsumsi rokok secara langsung dan tidak langsung sebesar Rp34,1 triliun.
Peneliti dari Center of Industry, Trade and Investment Indef Ahmad Heri Firdaus menjelaskan biaya kesehatan yang ditanggung tidak lebih besar jika dibandingkan dengan biaya ekonomi yang ditanggung negara.
Selain dampak ekonomi, Indef juga mengukur seberapa besar tenaga kerja yang terdampak akibat pasal-pasal tembakau tersebut. Setidaknya akan ada penurunan tenaga kerja hingga 10,08 persen di sektor industri tembakau dan menurunnya serapan tenaga kerja di perkebunan tembakau hingga 17,16 persen.
Untuk itu, jika pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan ini diterapkan, pemerintah perlu bersiap untuk menghadapi gelombang pengangguran besar, yang tentunya akan akan memicu konsekuensi ekonomi maupun sosial.
Baca juga: Membenahi Ketentuan Tembakau dalam RPP Kesehatan |
Petani tembakau semakin 'remuk'
Di kesempatan berbeda, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Nusa Tenggara Barat (NTB) Sahminuddin menyampaikan PP Nomor 109 Tahun 2012 telah memberikan pukulan bagi nasib para petani tembakau. PP 109/2012 yang ditetapkan pada Desember 2012 oleh Presiden SBY menandai sebagai 'Desember Kelabu' bagi para petani tembakau kala itu.
"Jika RPP Kesehatan ini disahkan, maka Presiden Jokowi akan mengulang Desember Kelabu Kedua," ungkap dia. Diketahui, Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu daerah sentra penghasil tembakau varian virginia.
Sementara, perwakilan dari Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) Ketut Budiman menekankan suara petani cengkih seringkali tidak didengarkan oleh pemerintah. Padahal sebanyak 95 persen produksi cengkih diserap oleh industri tembakau, dan kehadiran pasal-pasal tembakau dalam RPP Kesehatan akan berdampak pada penyerapan cengkeh tersebut.
"Cengkih jadi yang terdampak pertama karena kebutuhan rokok kretek hanya dapat terpenuhi dari produksi dalam negeri. (pasal-pasal tembakau) RPP Kesehatan selayaknya jangan terlalu terburu-buru disahkan dan perlu dibahas lebih lanjut secara terpisah," terang Budiman.
Meski dikejar target, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memastikan RPP Kesehatan masih dalam tahap pembahasan dan belum menemukan kesepakatan, khususnya terkait pengamanan zat adiktif.
Asisten Deputi Pengembangan Industri Deputi V Kementerian Perekonomian Eko Harjanto mengungkapkan, ada beberapa substansi yang masih pada tahap pembahasan pemerintah dalam RPP Kesehatan tersebut. Antara lain, penetapan kadar TAR dan nikotin produk tembakau, bahan tambahan, jumlah produk dalam kemasan, penjualan produk tembakau, peringatan kesehatan, iklan promosi, dan sponsor.
Sebagai stabilisator perekonomian negara, pemerintah sudah seharusnya menghindari regulasi yang memberikan 'efek kejut' bagi ekosistem industri tembakau.
"Efek kejut bagi ekosistem tembakau tersebut berpotensi menurunkan optimalisasi sektor hulu yang berdampak pada kesejahteraan petani, penurunan pendapatan negara, penurunan sektor industri periklanan, penurunan sektor distributor dan ritel, penurunan sektor UMKM tembakau, dan dampak lainnya," kata Eko.
Eko menilai industri tembakau merupakan salah satu sektor industri strategis yang secara konsisten memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional melalui cukai. Tak hanya itu, sektor industri tembakau juga berperan penting dalam penyerapan tenaga kerja, serta kesejahteraan bagi petani tembakau.
Adapun, rantai pasok sektor industri tembakau menyerap hingga 6,5 juta orang, mulai dari petani tembakau, petani cengkih, tenaga kerja buruh industri, distribusi ritel, dan lainnya.
Dirinya juga menilai sektor industri tembakau merupakan industri padat karya dan padat regulasi. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian dalam mengatur regulasi bagi sektor tersebut karena berimplikasi pada peredaran rokok ilegal yang justru akan meningkatkan prevalensi merokok anak.
Dampak negatif dari rokok ilegal bukan hanya dari kerugian cukai dan berkurangnya pendapatan negara, melainkan juga dari sisi sosial dan persaingan usaha yang tidak sehat antarindustri.
Koordinator Tanaman Semusim Kementerian Pertanian (Kementan) Haris Darmawan turut menggarisbawahi pengaturan pada zat adiktif dapat dipisah dari RPP, sehubungan dengan dampak yang ditimbulkan terhadap kesejahteraan petani tembakau.
"Setidaknya terdapat beberapa dampak RPP Kesehatan terhadap petani diantaranya menurunnya daya serap industri terhadap hasil tembakau petani, hilangnya mata pencaharian bagi sejumlah petani, buruh tani tembakau, maupun petani cengkih, dan meningkatkan pengangguran yang berasal dari petani, buruh tani tembakau, dan petani cengkeh," papar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News