Dewan Pakar DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Tri Chandra Aprianto mengatakan, petani sangat sulit merasakan kehadiran negara dalam sengketa kawasan lahan sawit dengan kawasan hutan.
Padahal, menurutnya, para petani punya izin usaha yang legal dan menjadi pegangan untuk memproduktifkan lahan sejak puluhan tahun silam. Namun legalitas itu dibenturkan dengan regulasi lain sehingga dianggap tidak sah secara sepihak.
"Kami sudah dua generasi. Petani seharusnya dicerahkan, dicerdaskan, dan dibina. Ini tidak terjadi sama sekali," ucap Tri dikutip dari keterangan tertulis, Selasa, 24 Oktober 2023.
Tri menambahkan, para petani sawit seolah-olah dianggap sebagai orang hutan, karena lahan sawit secara tiba-tiba dimasukkan ke dalam kawasan hutan yang tanpa kejelasan batas, dan tidak menggunakan metode pengukuran yang jelas.
"Kami sudah dua generasi mengolah sawit. Tiba-tiba kami dimasukkan sebagai orang hutan. Ini kan sesuatu yang menurut kami irasional," ujar dia.
Baca juga: Jadi Tulang Punggung Sosial Ekonomi, Ini yang Dibutuhkan Industri Sawit |
Benturan aturan
Pakar Hukum Kehutanan Sadino menambahkan, regulasi menjadi akar persoalan lahan kelapa sawit sehingga pemerintah menganggap izin usaha yang telah dikantongi petani sebagai sebuah pelanggaran karena adanya benturan aturan.
"Ini problem yang kita hadapi adalah basis pengaturan regulasi yang karut marut secara norma hukum," tegas dia.
Diketahui, sengketa sawit terjadi karena penambahan beleid baru dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang terkait dengan perizinan usaha sawit, secara spesifik terdapat pada Pasal 110 A dan 110 B.
Persoalannya, beleid anyar itu bertabrakan antara Hak Guna Usaha (HGU) yang puluhan tahun dimiliki baik itu perusahaan maupun masyarakat, dengan penunjukkan kawasan hutan oleh pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News