Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Mukhtasor mengungkapkan, sebelum direvisi, Permen 49/2018 lebih rasional dan adil. Setrum yang diproduksi oleh PLTS Atap diekspor ke jaringan PLN pada siang hari, dan digunakan oleh pemasang PLTS Atap pada malam hari dengan dikurangi 35 persen sebagai kompensasi biaya penyimpanan listrik.
"Kompensasi ini merefleksikan biaya untuk mengatasi berbagai masalah, di antaranya listrik yang berubah menjadi panas selama masa transmisi, perbedaan biaya pembangkitan pada siang dan malam hari, serta biaya menyalakan pembangkit untuk siaga mengantisipasi ketidakpastian pasokan PLTS karena cuaca dan sebagainya. Skema ini diistilahkan 1:0,65," ujar Mukhtasor dalam siaran persnya, Selasa, 24 Agustus 2021.
Menurut dia, draf revisi Permen ESDM mengabaikan biaya-biaya tersebut, semua listrik yang diekspor siang dapat 100 persen diimpor kembali pada malam hari, istilahnya skema 1:1. Dengan demikian, kompensasi biaya penyimpanan ditanggung oleh PLN. Ketika beban keuangan menimpa PLN, pada akhirnya menjadi beban APBN, karena kerugian PLN akan menjadi tanggungan pengeluaran APBN.
"Lebih dari itu, PLN juga menanggung konsekuensi lain, misalnya tergerusnya penggunaan listrik PLN padahal konsumsi pelanggan itu dulu masuk dalam perhitungan ketika pemerintah menugaskan PLN melaksanakan percepatan 10 ribu MW dan 35 ribu MW. Produksi listrik dari program penugasan tersebut sudah masuk ke sistem PLN, dan saat ini sedang oversupply. Artinya, ada risiko pemborosan nasional tetapi tidak diiringi dengan nilai tambah industri nasional," terangnya.
Oleh karena itu banyak saran agar pemerintah mengkaji ulang atau membatalkan draf revisi Permen ESDM tersebut. Sebagai gantinya, Mukhtasor menyarankan strategi menguatkan industri nasional produsen solar cell. Uang yang semula harus digunakan menutup kompensasi biaya penyimpanan setrum dari PLTS Atap tersebut, diubah menjadi insentif untuk industri nasional rantai pasok PLTS, utamanya produsen solar cell.
Dengan demikian, harga solar cell dari industri nasional di pasaran semakin kompetitif, pengguna PLTS Atap bisa membelinya lebih murah, keekonomian PLTS Atap juga akan meningkat baik, serta minat dan dukungan pada PLTS Atap akan meningkat.
"Inilah program gotong royong nasional yang sesungguhnya. Ada mitigasi risiko kenaikan tarif listrik bagi masyarakat luas, PLN tetap menerima kompensasi biaya penyimpanan setrum seperti praktek bisnis yang sehat, dan ada industri baru produsen solar cell yang pada waktu tertentu nanti sudah bisa membayar pajak. Program pengembangan PLTS sebagai sumber energi terbarukan yang mampu mengurangi emisi karbon bisa berkelanjutan dan tidak menjadi beban APBN secara berkepanjangan," ungkap dia.
Di sisi lain Mukhtasor menyatakan bahwa strategi memperkuat industri nasional solar cell dalam negeri ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035. Dalam PP tersebut, pemerintah menetapkan tiga tahap pembangunan industri 2015-2019, 2020-2024, dan 2025-2035.
Di antara enam jenis industri andalan dalam Pembangunan Industri Nasional, industri pembangkit energi adalah salah satunya. Menariknya, solar cell adalah primadona dalam perencanaan industri andalan tersebut, karena solar cell tetap diutamakan pada seluruh tahapan rencana pembangunan industri 2015-2035 tersebut.
"Dengan strategi memperkuat industri rantai pasok solar cell, pengguna PLTS Atap bisa tetap diuntungkan dengan tersedianya produk PLTS dalam negeri yang memenuhi standar dengan harga yang lebih murah. Hal ini dimungkinkan karena dukungan pemerintah dan realokasi dana APBN menjadi insentif, serta dukungan fiskal dan nonfiskal," pungkas Mukhtasor.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id